KRITIK KELAS SOSIAL DALAM NOVEL “BUKAN PASAR MALAM” DAN “ANAK INI MAU MENGENCINGI JAKARTA?”


Muhammad Firmansyah Hidayattullah (2125150618)



Sinopsis Novel Bukan Pasar Malam

Selama perjalanan pulang ke Blora pemuda tersebut didampingi oleh istrinya yang keturunan Pasundan, ia gadis yang cantik namun cerewet, mereka baru menikah setengah tahun yang lalu. Selama perjalanan sang pemuda mencoba memperkenalkan keindahan daerah asalnya kepada istri terkasih, hingga akhirnya pemuda tersebut tiba di kampung halaman dan bertemu sang ayah tercinta yang tergolek lemah tak berdaya karena TBC.

Sang anak pun bertemu ayahnya di pembaringan rumah sakit, saat bertemu tangis haru menyelimuti mereka. Pemuda tersebut merasa miris melihat ayahnya yang dahulu berdiri kokoh sebagai seorang pemimpin perang gerilya yang cerdik, seorang guru yang hebat, seorang politikus pro rakyat yang ulung kini menjadi sesosok makhluk tak berdaya dengan TBC yang menggerogotinya. Sang anak ingin membawa ayahnya ke dokter spesialis namun terkendala oleh keuangan keluarga yang tidak mendukung.

Saat saat seperti itulah keakraban antara ayah dan anak yang telah lama terpisah mulai kembali terjalin, begitu pula keakraban antara sang pemuda dengan adik-adiknya juga kembali dieratkan oleh suasana dan keadaan. Namun tiba tiba sang istri meminta pemuda tersebut untuk kembali ke Jakarta dengan alasan keuangan yang memprihatinkan. Pemuda tersebut mengiyakan permintaan sang istri terkasih, akhirnya pemuda tersebut mengutarakan keinginan untuk kembali ke Jakarta kepada sang ayah, namun sang ayah menolak dengan halus dan meminta waktu seminggu lagi agar anaknya tersebut sudi menemaninya.

Waktu berjalan penuh dengan keakrabang ayah dan anak. Tanpa mereka sadari, satu minggu terlewati sudah, namun akhirnya sang anak malah tidak ingin beranjak pergi karena ia merasa memiliki kewajiban untuk menemani ayahnya yang tergolek lemah tak berdaya, maklum saja ia merupakan anak pertama dalam keluarga mereka. Kejadian yang tak diinginkan akhirnya terjadi juga, sang ayah meninggal dunia setelah dia dibawa pulang ke rumah oleh anak-anaknya. Tangis pilu tak terhindarkan, suasana hening menyelimuti keluarga mereka, rumah yang terlihat memprihatinkan turut menghiasi kesedihan mereka setelah ditinggal pergi orang tua tunggalnya.

Setelah kepergian sang ayah pemuda mendapatkan banyak pembelajaran, hingga akhirnya ia menyadari bahwa kehidupan di dunia ini bukanlah seperti pasar malam, berduyun-duyun datang dan berduyun-duyun pula kembali, melainkan mereka menanti kepergiannya dengan segala hal yang masih dapat mereka lakukan.


Sinopsis Cerpen Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta?

PENUMPANG yang sudah bangun banyak yang mengeluh. Tiga laki-laki secara bersamaan melihat jam tangan mereka dengan wajah kecut. Masinis di ruang kemudi dan dua kondektur di gerbong paling depan mendesah kesal. Di mata mereka sudah kelihatan kopi panas dalam salah satu ruang dinas di stasiun Pasar Senen. Ada juga lelaki necis yang keluar dari kakus kereta sambil menggenggam sikat gigi. Atau di sana, di bagian sudut, ada lelaki berwajah saleh sedang shalat subuh sambil duduk. Dan yang paling banyak suara adalah penumpang-penumpang perempuan yang membawa anak.

Kereta itu berhenti di wilayah kehidupan orang-orang pinggir rel. Kehidupan yang sungguh merdeka dan berdaulat, sedang mulai bergerak. Tetapi, sebagian besar mereka masih terbaring dalam gubuk-gubuk kardus yang menyandar ke tembok pembatas jalur-jalur rel. Ada yang hanya tampak kaki, dan tubuh mereka terlindung di bawah atap sangat rendah lembaran rongsok. Dan di sebelah kanan rangkaian kereta, di balik semak yang meranggas dan berdebu, seorang lelaki dan anak kecilnya sudah bangun. Di dekat mereka ada perempuan masih tertidur, berbantal buntalan kain melingkar di atas gelaran kardus. Wajah perempuan yang masih lelap itu tampak lelah. Tetapi gincu bibir dan bedak pipinya tebal. Entahlah, mungkin perempuan itu tadi malam berjualan birahi sampai pagi.

”Nah, dengar ini! Kamu boleh kencing di mana pun seluruh Jakarta; di Menteng, di pinggir Jalan Thamrin, di lapangan belakang Stasiun Gambir, di sepanjang gili-gili Kebayoran Baru, juga boleh kencing di Senayan. Dengar itu?”

Mata anak lelaki usia lima tahunan itu membulat. Bingung, karena dia tidak tahu di mana tempat-tempat yang tadi disebut ayahnya. Sejenak lengang. Si ayah menunggu; si emak tertawa-tawa. Dan tiba-tiba terdengar suara lelaki terbatuk dari arah belakang. Serentak ketiga warga pinggir rel itu menoleh ke belakang. Dan terpana. Di sana, pintu terdekat kereta api sudah terbuka. Atau sudah lama terbuka. Ada satu kondektur dan satu penumpang berdiri tegak. Mereka berasa sedang menonton pentas dari alam yang berbeda. Kemudian kedua laki-laki itu merapat ke sisi-sisi yang berlawanan untuk memberi jalan kepada orang ketiga yang ingin muncul. Orang ketiga adalah gadis pramusaji yang cantik seperti pramugari. Di tangannya ada kantung warna hitam, tentu berisi sampah sisa makanan. Kantung itu dilempar ke bawah dan jatuh empat meter di hadapan tiga warga pinggir rel. Nasi sisa, tulang-tulang ayam goreng, ada juga paha ayam goreng yang masih utuh, potongan daging bakar, berserakan di pelataran batu koral.

ANALISIS KELAS SOSIAL (KRITIK)

Status sosial adalah salah satu tempat atau posisi seseorang dalam kelompok sosial atau masyarakat secara umum sehubungan dengan keberadaan orang lain di sekitarnya. Status sosial seseorang juga menentukan kelas sosialnya. Apabila di dalam masyarakat mereka memiliki kedudukan yang penting atau memiliki sesuatu yang dihormati seperti pekerjaan dan pendidikannya serta perannya dalam masyarakat maka pada kelompok tertentu mereka akan mendapatkan penghormatan. (https://www.siswapedia.com/status-sosial/)

Gambaran masyarakat yang secara khusus ingin digambarkan oleh Bukan Pasar Malam yaitu kelas-kelas yang tercipta dalam masyarakat. Ketimpangan sosial begitu ketara sebagai akibat adanya kelas di masyarakat. Berbagai alasan timbul melatarbelakangi hal tersebut mulai dari ekonomi, hingga sistem pemerintahan. Ada beberapa kategori yang bisa dipisahkan dari status sosial yang ada pada novel ini. Misalnya kelas sosial yang terjadi berdasarkan status ekonomi, politik, kedudukan, dll. Novel ini mengangkat penderitaan sisi dari kehidupan rakyat yang menderita akibat peperangan. Maka dari itu muncul lah kelas kelas sosial yang saling berketimpangan.

Seperti contohnya pada halaman 46 tentang status sosial :
“Daerah kami yang miskin, jarang orang membuat sumur. Dan didaerah kami yang kering, sumur adalah pusat perhatian manusia dalam hidupnya disamping beras dan garam. Karena itu- sekalipun pembuatan sumur itu atas ongkos sendiri akhirnya dia menjadi hak umum. Orang yang membuat sumur adalah orang yang berwakaf ditempat kami. Dan bila orang mempunyai sumur didaerah kami – dia akan mendapat penghormatan penduduk: sedikit atau banyak. Dan kalau engkau punya sumur disini, dan sumur itu kau tutup untuk kepentingan sendiri, engkau akan dijauhi orang dan dicap kedekut.”

Dari contoh diatas dijelaskan bahwa orang yang memiliki sumur mendapatkan kedudukan atau dihormati dari status kelasnya, disini sumur sangat penting bagi masyarakat. Simbol “sumur” merupakan salah satu cara penulis menggambarkan status sosial seseorang. Bahwa orang yang mempunyai atau membuat sumur adalah orang yang penting di daerah tersebut. Maka dari itu orang yang mempunyai atau membuat sumur akan mendapat penghormatan dan dihormati oleh masyarakat. Sebaliknya jika seseorang punya sumur di daerah itu, dan sumur itu ditutup untuk kepentingan sendiri, maka ia akan dijauhi orang.

Kalau berdasarkan status ekonomi pada halaman 18 :
Kadang-kadang kereta kami berpacu dengan mobil, dan kami memperhatikan tamasya itu dengan hati gemas. Debu yang ditiupkan oleh mobil—debu yang bercampur dengan berbagai macam tahi kuda, tahi manusia, reaknya, ludahnya—mengepul menghinggapi kulit kami. Kadang-kadang kami dapati anak-anak kecil bersorak-sorak sambil mengulurkan topinya mengemis. Dan keadaan ini berlaku sejak jalan kereta-api dibuka dan kereta-api meluncur diatas relnya. Bila orang melemparkan-lemparkan sisa-sisa makanan, mereka berebutan. .

Ketimpangan sosial yang tergambar di atas dilatarbelakangi perbedaan dalam  masalah ekonomi kaya dan miskin. Digambarkan ketika kalangan kelas atas itu mendapatkan segalanya sedangkan kaum kelas bawah hanya bisa mendapatkan sisa-sisa dari kelas orang atas. Suasana yang tergambar di atas memperlihatkan kondisi masyarakat yang menderita akibat kemiskinan dan jelas sekali terlihat perbedaan antara orang kaya dan orang miskin yaitu debu yang ditiupkan oleh mobil orang kaya dan rakyat miskin menikmati debu dari asap mobil tersebut serta harus berebutan makanan sisa dari orang kaya tersebut.


Sedangkan dalam cerpen “Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta?”, Cerpen ini berisi tentang kritik terhadap kemiskinan yang masih dirasakan oleh sebagian masyarakat kalangan bawah di negeri ini. Ahmad Tohari mengambil tokoh masyarakat yang tinggal di pinggiran rel kereta api di Stasiun Senin Jakarta. Jakarta sebagai ibukota negara, tidak hanya tempat gedung-gedung megah tetapi juga tempat berkumpulnya orang-orang miskin seperti gelandangan. Kemiskinan di dalam cerpen ini digambarkan dengan gubug-gubug dari kardus sebagai tempat tinggal para gelandangan , mi instan sebagai makanan mewah, serta prostitusi sebagai pekerjaan. Tokoh Laki-laki, anak laki-laki dan perempuan memperkuat kelas sosial atau kritik sosial untuk negeri ini.

Terlihat bukti dalam kutipan :
Kantung mi berhenti berayun-ayun. Mata anak itu menyala. Bibirnya bergerak-gerak seakan siap menerima makanan. Jakunnya turun-naik. Dan ayah itu memindahkan kantung mi dari tangan kanan ke tangan kiri. Kemudian telunjuk dan ibu jari tangan kanan menyatu dan masuk ke lubang sobekan di sudut kantung mi dengan hati-hati. Ketika ditarik keluar, telunjuk dan ibu jari tangan kanan laki-laki itu sudah menjepit dua sulur mi yang masih mengepulkan uap. Kedua mata si anak menyala. Tetapi si ayah tidak segera memasukkan ujung sulur mi itu ke mulut anaknya yang sudah terbuka. Malah mengayun-ayunkan lagi di udara.

Simbol “mie” yang diangkat oleh penulis Ahmad Tohari menggambarkan kelas sosial yang sungguh sangat berat sebelah. Tidak jauh berbeda dengan novel “Bukan Pasar Malam”, simbol-simbol ini sebenarnya mengkritik kelas sosial yang sangat berketimpangan. Disaat si kaya mendapatkan apapun yang ia suka sedangkan si miskin harus bersusah payah untuk mendapatkannya. Bahkan terkadang si miskin harus menerima sisa-sisa pemberian dari si kaya. Ini adalah kritik yang sangat keras untuk negeri ini. Disaat “mie” adalah simbol yang kuat untuk menggambarkan penderitaan dari kaum orang-orang pinggiran.

Pada penutup cerpen ini juga cukup mengkritik dengan keras.
”Tadi selagi saya masih tidur kalian bicara apa? Anak ini mau mengencingi Jakarta?” tanya si perempuan. Si ayah dan si anak berpandangan, tersenyum lalu tertawa lebih lepas. Benar, tiga warga pinggir rel itu menikmati hidup yang gembira dan merdeka.”

Bahwa halnya kegembiraan dan kemerdekaan adalah hak setiap orang. Itu tergantung bagaimana sudut pandang orang tersebut. Mungkin kaum pinggiran selalu mendapatkan kesusahan. Tapi siapa disangka, bahwa untuk bahagia dengan makan “mie” saja sudah cukup. Walaupun satu bungkus “mie” itu dibagi dengan 3 orang.

Novel “Bukan Pasar Malam” dan cerpen “Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta” ini mempunyai kritikan untuk negeri ini dengan cara yang sama. Dengan melihat ketimpangan dan ketidak adilan yang ada di negeri ini. Dengan status sosial yang terjadi akibat bermacam-macam sebab, dan kritik dengan simbol-simbol yang cukup kuat untuk menggambarkan suasana yang terjadi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEMIOTIKA MAKNA PADA LIRIK LAGU MANUSIA KUAT – TULUS

DESKRIPSI WARNA PADA IKON LAYANAN ON-DEMAND GO-RIDE, GO-CAR, GO-FOOD PADA APLIKASI GO-JEK

Ikon, Indeks, dan Simbol Dalam Lambang Centang: Kajian Semiotika