Motif-Motif Wanita Penghibur dalam Novel Daerah Salju Karya Yasunari Kawabata dan Cerpen Sarinah Kembang Cikembang Karya Satyagraha Hoerip; Kajian Sastra Bandingan dengan Pendekatan Feminisme
Motif-Motif Wanita Penghibur dalam Novel Daerah Salju Karya Yasunari Kawabata dan Cerpen Sarinah Kembang Cikembang Karya Satyagraha Hoerip; Kajian Sastra Bandingan dengan Pendekatan Feminisme
Motif-Motif Wanita Penghibur dalam Novel Daerah Salju Karya Yasunari Kawabata dan Cerpen Sarinah Kembang Cikembang Karya Satyagraha Hoerip; Kajian Sastra Bandingan dengan Pendekatan Feminisme
Oleh:
Destriyadi 2125152872
Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta
PEREMPUAN DAN FEMINISME
Perempuan dalam gender seringkali menempati posisi kedua setelah laki-laki, menjadikan perempuan sebagai objek yang geraknya terbatas dan hanya mampu menempati beberapa posisi saja, salah satunya ibu rumah tangga. Tak jarang pula perempuan dibuat sebagai tokoh yang tersiksa dalam hal kekerasan ataupun seksual. Bagian kedua memang sudah menjadi bahan yang sedap untuk dibicarakan atau diulik. Tak hanya dalam realita yang dengan mudah dapat ditemui di tempat-tempat yang sudah menjadi ‘taman rezeki’ bagi mereka. Begitu pula dalam karya sastra, dalam prosa khususnya. Kehidupan perempuan yang menghadapi kondisi sebagai penghibur nafsu memang terlihat miris dan dengan sendirinya menjatuhkan harga diri para kaum hawa. Tak jarang perempuan menjadi wanita penghibur dalam cerita dengan kondisi yang tertindas atau malah menjadi bagian dari kehidupan yang dinikmati dengan ikhlas.
Persoalan yang sering muncul dalam sastra yang berhubungan dengan perempuan di antaranya adalah (1) Perempuan jarang ataupun bahkan hampir tidak pernah disebutkan dalam sejarah sastra, (2) umumnya perempuan dihadirkan dengan berbagai cara yang merugikan perempuan dalam karya sastra, dan (3) Penulis perempuan selalu dipandang sebagai kelas minor atau kelompok kedua dalam tradisi sastra (Susanto, 2016:179). Persoalan pertama, perempuan ditempatkan pada ruang kecil untuk dibahas atau secara sekilas. Persoalan kedua dalam sebuah karya tokoh perempuan menjadi tokoh-tokoh yang tidak ditempatkan pada posisi yang tinggi melebihi laki-laki. Dalam hal kepenulisan, perempuan sulit untuk dapat dilihat dalam karyanya. Begitu pula dengan, isu utama dalam kajian kesastraan yang berhubungan dengan feminisme ini adalah tentang posisi, kedudukan, pengalaman hidup, dan bentuk-bentuk tulisan perempuan dalam sastra (Susanto, 2016:180). Sebenarnya mengangkat perempuan dalam tokoh kurang lebih sama dengan laki-laki, tetapi masalah kedudukan dan pengalaman hidup perempuan tidak bisa dinomorduakan. Keadaan antara pengalaman hidup dan kedudukan seorang perempuan tentu berbeda, bagaimana menjadi seorang ibu, bagaimana berhias, bagaimana menggunakan rok, yang hanya dilakukan oleh perempuan. Posisi perempuan pun tidak menjadi kasta tertutup yang tidak bisa diubah, perempuan mampu menempatkan diri pada kemampuan yang mereka miliki.
Kehadiran feminisme sebenarnya memberikan ruang kepada penulis, pembaca, maupun karya untuk dapat dibahas lebih dalam dengan segala tentang perempuan. Feminisme mendobrak dominasi dalam karya sastra yang terlalu dipenuhi oleh dominasi laki-laki sebagai titik pembicaraan. Berdasarkan pengalaman-pengalaman atau pensejarahan perempuan dapat diangkat sebagai jalan efektif pengembangan aliran feminisme. Model berlandaskan bahwa pandangan tentang pengalaman perempuan merupakan bentuk konkret dari perlawanan dominasi makna yang diproduksi oleh laki-laki (Rohman, 2014:220)
Orientasi pandangan feminisme adalah pembongkaran otoritas makna yang dipegang oleh laki-laki (Rohman, 2014;220). Dalam karya sastra, sebagai kaum tertindas, perempuan selalu diposisikan kepada laki-laki yang menggambarkan ketimpangan gender. Laki-laki lebih berkuasa di banding perempuan. Maka dari itu, ada perebutan dominasi makna oleh perempuan dalam karya sastra untuk mendapatkan porsi yang sesuai dan tepat di dunia sastra.
Teori feminisme merupakan seperangkat gabungan ataupun gagasan yang berusaha mengkaji kehidupan sosial dengan memosisikan dirinya pada pembelaan terhadap perempuan. Artinya, teori ini berpihak pada subjek yang dibayangkan, yakni perempuan yang akan dibelanya, yang diasumsikan mengalami ketertindasan maupun termarginalkan. (Susanto, 2016:183)
Untuk menganalisis permasalahan kaum perempuan, di Barat telah dikembangkan beberapa teori atau perspektif yang masing-masing mencoba mendeskripsikan keterbelakangan atau opresi yang dialami perempuan dan menjelaskan sebab-sebabnya. Menurut Anshori, Kosasih, dan Sarimaya (1997: 21, dalam Rohman dan Emzir) beberapa pendekatan feminisme adalah teori dasar feminis, teori feminis sosialis, teori feminis gemulai, teori feminis radikal, teori feminis liberal, dan teori gender. Pada analisis artikel ini, penulis menggunakan teori feminis radikal.
Teori feminis radikal (Radical Feminist Theory) pada dasarnya feminis radikal memberi perhatiannya kepada permasalahan perempuan yang berkaitan dengan masalah reproduksi dan seksualitas perempuan. Perbedaan teori radikal feminisme dari teori lainnya ialah pernyataan mereka tentang penindasan terhadap kaum perempuan sebagai suatu persoalan yang bersifat fundamental di mana Anshori, Kosasih, dan Sarimaya (1997: 23) menjelaskan bahwa persoalan-persoalan tersebut dapat diinterpretasikan dengan perlbagai cara antara lain:
Secara historis, perempuan merupakan kelompo tertindas yang pertama di dunia. Bentuk penindasan berikutnya adalah penindasan berdasarkan warna kulit (negro), penindasan budak dan buruh (perbudakan) dan lain-lainnya.
Penindasan atas perempuan terjadi secara universal, meluas di hampir seluruh masyarakat dunia. Akan tetapi perbudakan, misalnya hanya ditemukan di negara-negara tertentu.
Penindasan terhadap permpuan adalah bentuk penindasan yang paling tersulit untuk dihapuskan dan tidak dapat dihapuskan oleh suatu undang-undang atau suatu perubahan sosial seperti yang terjadi dalam kasus penghapusan pengkelasan dalam masyarakat.
Penindasan terhadap perempuan menyebabkan korbannya sangat menderita secara kuantitatif dan kualitatif. Akan tetapi, penderitaan ini acap kali tidak terkenali sebagai akibat prasangka negatif menurut acuan jenis kelamin dari pihak yang tertindas (perempuan) dan yang menindas (laki-laki) bahwa hal tersebut sudah merupakan suatu kewajaran dan alami. (Rohman dan Emzir, 2015: 134-135)
PEMBAHASAN
Novel Daerah Salju terjemahan Matsuoka Kunio dan Ajip Rosidi dan cerpen Sarinah Kembang Cikembang karya Satyagraha Hoerip adalah karya yang mengangkat isu tentang perempuan. Novel Daerah Salju mengangkat cerita seorang wanita yang menjadi geisha di daerah salju, pulau Honsu yang terletak di Laut Jepang. Sarinah Kembang Cikembang mengangkat isu perempuan yang hidup dengan seksualitasnya sebagai WTS. Kedua cerita ini mengangkat objek perempuan yang masih berada dalam tataran subordinat, posisi perempuan dalam kedua prosa ini juga tidak memosisikan bentuk perlawanan terhadap laki-laki. posisi yang menjadikan wanita sebagi permasalahan yang fundamental dalam feminisme.
Kedua prosa ini memosisikan perempuan dalam ruang dan tataran yang sama. Daerah Salju memposisikan tokoh wanita yang bernama Komako sebagai wanita penghibur yang lebih elegan secara sandang, berbeda dengan Sarinah Kembang Cikembang yang menjadikan tokoh Sarinah sebagai wanita penghibur—atau lebih tepatnya sebagai wanita tunasusila—yang lebih seksi. Secara seksualitas, SKC lebih vulgar dan digambarkan jelas, sementara DS dibawakan karakter Komako dengan lebih lembut dan diselipkan.
Artikel ini bertujuan untuk mengungkapkan kepada pembaca atas motif-motif yang mendasari atau melatarbelakangi tokoh perempuan dalam karya SKC dan DS menjadi wanita penghibur. Dasar-dasar cerita prosa yang ‘nakal’ ini memperlihatkan bisa menjadi sampel atau asumsi untuk wanita penghibur lainnya.
Perbandingan antara SKC dan DS yang didasari oleh motif-motif yang membuat para tokoh Sarinah dan Komako bekerja sebagai wanita penghibur di negaranya masing-masing. Sarinah di Pulau Jawa dan Komako di Jepang.
Motif-motif apa saja yang menyebabkan tokoh perempuan dalam kedua karya tersebut mempekerjakan diri mereka sebagai wanita penghibur? Motif-motif ini sebagai dasar yang menjadi asumsi yang subjektif pada setiap orang, tubuh wanita yang diperdagangkan dengan harga yang disepakati adalah kerendahan harga diri, namun di sisi lain apa yang dirasakan oleh para wanita yang hidup dengan penuh beban berat. Artikel ini tidak memihak pada perspektif manapun, tetapi akan memaparkan apa-apa saja yang menjadi motif-motif atau dasar perempuan menjadi wanita penghibur. Apakah wanita penghibur di Jepang sama motifnya dengan di Indonesia? apakah sebutan geisha mengartikan sama dengan WTS?
Pada bagian ini, penulis akan merincikan dari kedua prosa tersebut yang menjadi motif-motif sebagai seorang wanita penghibur. Bagian ini pula, penulis melihat bagian persamaan dan perbedaan dari kedua cerita.
PERSAMAAN
Keadaan sakit seseorang.
Permasalahan perempuan dikaitkan dengan seseorang dalam cerita yang mengalami suatu penyakit, hubungan antartokoh sebagai seorang yang mengasuhnya ataupun sebagai penafkah hidup tokoh yang sakit. Disampaikan oleh tokoh pembantu yang menjelaskan keadaan dan kondisi tokoh yang sakit kepada tokoh perempuan sebagai penafkah. Dalam novel DS hal itu terjadi.
“Ya? Karena laki-laki itu sakit lama di Tokyo, anak yang bernama Komako itu menjadi geisha dalam musim panas ini dan mengirimkan biaya untuk rumah sakit, tapi bagaimana akibatnya, ya” (DS, Hal.46)
Kondisi seperti ini yang membuat permasalahan Komako yang mengharuskan ia menjadi seorang geisha. Bekerja sebagai wanita penghibur untuk kepentingan orang lain. begitu juga yang terjadi pada Sarinah sebagai tokoh yang mengalami keadaan sebagai wanita yang menafkahi keluarga. Bahkan, Sarinah diceritakan lebih kompleks permasalahan yang ia hadapi. Permasalahan itupun dimunculkan oleh tokoh pembantu.
“Emak itu perlu sekali uang, Inah. Kalau tidak, masa’ itu sampai saya perlukan ke mari? Jauh-jauh? Bapakmu itu sakitnya kan juga bukan main.” (SKC, Hal. 124)
Kutipan dialog di atas disampaikan oleh tokoh Mang Adung ketika bertemu dengan Inah yang baru selesai menjalankan kegiatan malamnya itu sebagai wanita penghibur. Dalam kondisi seperti itu, Inah sendiri sedang tidak memiliki banyak uang untuk memberikan ‘rezeki’ kepada keluarganya di kampung. Kondisi itu juga didasari oleh keadaan bapak Inah yang sakit parah. Beban yang diterima saat tidak memiliki uang dan harus memberikan uang kepada keluarga.
Penghasilan
Uang menjadi faktor yang prioritas dalam hal ini. Penghasilan yang didapat dari wanita penghibur tidak sedikit, dari pelanggan yang tidak biasa-biasa saja. Terlebih jika pelayanan yang diberikan memuaskan, bisa jadi mendapatkan uang lebih.
“Sekarang saya mau bekerja supaya mendapat uang banyak. Mendapat uang, mendapat uang,” (DS, Hal. 103)
Dalam novel DS, Komako mengatakan ia bekerja agar mendapatkan banyak uang. Bayaran yang tidak sedikit yang bisa didapatkan dalam waktu cepat membuat pekerjaan ini menjadi pilihan, memang harus rela menjual diri. Begitu pula dalam SKC, Inah melakukan kegiatan yang didasari oleh kebutuhan yang kompleks.
Oleh peristiwa yang ia alami tadi siang, Inah rajin benar mandi sore. Sekujur tubuhnya ia gobrot dengan sabun wangi. Selesai bersolek ia mejeng di jalam besar di muka kawasan hiram. Bukan dengan cara menunggu sambil main kartu, namun dengan mondar-mandir sambil mengobral senyum dan sapaan. Kepahitan hidup dan optimisme mendapatkan mangsa, berjalan bersama-sama di kalbunya. Ia yakin malam itu ia akan mendapat banyak uang. (SKC, Hal. 127)
“..... Atau buat menjamin kelangsungan sekolahnya adik-adik atau anak-anak kalian. Atau buat beli obat nenekmu. Atau untuk kirim uang ke desa karena anak-anakmu ditinggal minggat suamimu. Betul, nggak, Inah?” (SKC, Hal. 131)
Kutipan dalam cerpen SKC, tergambarkan dengan narasi yang deskriptif sehingga menjelaskan tubuh yang harus harum dan berpenampilan menarik dan paras yang elok menjadi bagian utama untuk dilihat pelanggan. Tujuan utamanya tetap pada penghasilan yang cukup.
PERBEDAAN
Niat
Komako sebagai tokoh yang menjadi geisha didasari dengan niat yang tulus dan sungguh. Hal itu dibuktikan dalam dialog berikut.
Komako selalu mau menghindar dari pembicaraan tentang Yukio. Walaupun mereka tidak bertunangan, ia menjadi geisha untuk menolong biaya perawatannya, jadi betul hal itu memang ‘sungguh-sungguh’. (DS, Hal. 94)
Pada cerita SKC, tokoh Inah melakukan atas dasar keterpaksaan atas apa yang dilakukannya. Hal ini terlihat jelas oleh dialog berikut.
“..... Maka, inah, mereka korupsi bukan karena terpaksa seperti kalian para WTS.” (SKC, Hal. 131)
Dialog diatas memperlihatkan pekerjaan yang dilakukan oleh Inah benar-benar ats dasar keterpaksaan. Perbedaan niat ini menjadikan hal yang menarik, wanita penghibur sebagai geisha dianggap sesuatu hal yang biasa dan diterima, namun WTS adalah pekerjaan yang didasari niat yang terpaksa sehingga dipandang ilegal.
KESIMPULAN
Daerah Salju maupun Sarinah Kembang Cikembang dari motif-motif yang telah dirincikan di atas memperlihatkan ada sisi yang sama dan ada dasar yang menjadikan perbedaan. Sisi yang sama berdasarkan dari cerita di atas masalah tokoh-tokoh yang mengalami sakit dan uang adalah faktor yang menjadikan mereka sebagai wanita penghibur. Kemudian pada perbedaannya di Daerah Salju dasar melakukan dengan tulus atau sungguh-sungguh. Namun, di Sarinah Kembang Cikembang tokoh Sarinah menjadi seorang WTS atas dasar keterpaksaan karena tuntutan ekonomi yang lebih kompleks.
SARAN
Penelitian ini belum mencapai pada puncak permasalahan. Penulis menyadari akan kekurangan yang ada dalam penelitian ini, maka perlu dirasa adanya saran yang dapat membuat penelitian ini lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Emzir, M.Pd., Prof. Dr dan Rohman, M.Hum., M.Si., Dr. Saifur. 2015. Teori dan Pengajaran Sastra. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Hoerip, Satyagraha. 1993. Sarinah Kembang Cikembang.Jakarta: Puspa Swara.
Kawabata, Yasunari. 2016. Daerah Salju. Diterjemahkan oleh: Matsuoka Kunio dan Ajip Rosidi. Jakarta: KPG.
Rohman, M. Hum., M.Si., Dr. Saifur.2014. Kritik Sastra Indonesia Abad XXI: Pengantar tentang Pendekatan, Metode, dan Model Kritik yang Relevan. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Susanto, S.S., M.Hum., Dwi. 2016. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: CAPS.
Motif-Motif Wanita Penghibur dalam Novel Daerah Salju Karya Yasunari Kawabata dan Cerpen Sarinah Kembang Cikembang Karya Satyagraha Hoerip; Kajian Sastra Bandingan dengan Pendekatan Feminisme
Oleh:
Destriyadi 2125152872
Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta
PEREMPUAN DAN FEMINISME
Perempuan dalam gender seringkali menempati posisi kedua setelah laki-laki, menjadikan perempuan sebagai objek yang geraknya terbatas dan hanya mampu menempati beberapa posisi saja, salah satunya ibu rumah tangga. Tak jarang pula perempuan dibuat sebagai tokoh yang tersiksa dalam hal kekerasan ataupun seksual. Bagian kedua memang sudah menjadi bahan yang sedap untuk dibicarakan atau diulik. Tak hanya dalam realita yang dengan mudah dapat ditemui di tempat-tempat yang sudah menjadi ‘taman rezeki’ bagi mereka. Begitu pula dalam karya sastra, dalam prosa khususnya. Kehidupan perempuan yang menghadapi kondisi sebagai penghibur nafsu memang terlihat miris dan dengan sendirinya menjatuhkan harga diri para kaum hawa. Tak jarang perempuan menjadi wanita penghibur dalam cerita dengan kondisi yang tertindas atau malah menjadi bagian dari kehidupan yang dinikmati dengan ikhlas.
Persoalan yang sering muncul dalam sastra yang berhubungan dengan perempuan di antaranya adalah (1) Perempuan jarang ataupun bahkan hampir tidak pernah disebutkan dalam sejarah sastra, (2) umumnya perempuan dihadirkan dengan berbagai cara yang merugikan perempuan dalam karya sastra, dan (3) Penulis perempuan selalu dipandang sebagai kelas minor atau kelompok kedua dalam tradisi sastra (Susanto, 2016:179). Persoalan pertama, perempuan ditempatkan pada ruang kecil untuk dibahas atau secara sekilas. Persoalan kedua dalam sebuah karya tokoh perempuan menjadi tokoh-tokoh yang tidak ditempatkan pada posisi yang tinggi melebihi laki-laki. Dalam hal kepenulisan, perempuan sulit untuk dapat dilihat dalam karyanya. Begitu pula dengan, isu utama dalam kajian kesastraan yang berhubungan dengan feminisme ini adalah tentang posisi, kedudukan, pengalaman hidup, dan bentuk-bentuk tulisan perempuan dalam sastra (Susanto, 2016:180). Sebenarnya mengangkat perempuan dalam tokoh kurang lebih sama dengan laki-laki, tetapi masalah kedudukan dan pengalaman hidup perempuan tidak bisa dinomorduakan. Keadaan antara pengalaman hidup dan kedudukan seorang perempuan tentu berbeda, bagaimana menjadi seorang ibu, bagaimana berhias, bagaimana menggunakan rok, yang hanya dilakukan oleh perempuan. Posisi perempuan pun tidak menjadi kasta tertutup yang tidak bisa diubah, perempuan mampu menempatkan diri pada kemampuan yang mereka miliki.
Kehadiran feminisme sebenarnya memberikan ruang kepada penulis, pembaca, maupun karya untuk dapat dibahas lebih dalam dengan segala tentang perempuan. Feminisme mendobrak dominasi dalam karya sastra yang terlalu dipenuhi oleh dominasi laki-laki sebagai titik pembicaraan. Berdasarkan pengalaman-pengalaman atau pensejarahan perempuan dapat diangkat sebagai jalan efektif pengembangan aliran feminisme. Model berlandaskan bahwa pandangan tentang pengalaman perempuan merupakan bentuk konkret dari perlawanan dominasi makna yang diproduksi oleh laki-laki (Rohman, 2014:220)
Orientasi pandangan feminisme adalah pembongkaran otoritas makna yang dipegang oleh laki-laki (Rohman, 2014;220). Dalam karya sastra, sebagai kaum tertindas, perempuan selalu diposisikan kepada laki-laki yang menggambarkan ketimpangan gender. Laki-laki lebih berkuasa di banding perempuan. Maka dari itu, ada perebutan dominasi makna oleh perempuan dalam karya sastra untuk mendapatkan porsi yang sesuai dan tepat di dunia sastra.
Teori feminisme merupakan seperangkat gabungan ataupun gagasan yang berusaha mengkaji kehidupan sosial dengan memosisikan dirinya pada pembelaan terhadap perempuan. Artinya, teori ini berpihak pada subjek yang dibayangkan, yakni perempuan yang akan dibelanya, yang diasumsikan mengalami ketertindasan maupun termarginalkan. (Susanto, 2016:183)
Untuk menganalisis permasalahan kaum perempuan, di Barat telah dikembangkan beberapa teori atau perspektif yang masing-masing mencoba mendeskripsikan keterbelakangan atau opresi yang dialami perempuan dan menjelaskan sebab-sebabnya. Menurut Anshori, Kosasih, dan Sarimaya (1997: 21, dalam Rohman dan Emzir) beberapa pendekatan feminisme adalah teori dasar feminis, teori feminis sosialis, teori feminis gemulai, teori feminis radikal, teori feminis liberal, dan teori gender. Pada analisis artikel ini, penulis menggunakan teori feminis radikal.
Teori feminis radikal (Radical Feminist Theory) pada dasarnya feminis radikal memberi perhatiannya kepada permasalahan perempuan yang berkaitan dengan masalah reproduksi dan seksualitas perempuan. Perbedaan teori radikal feminisme dari teori lainnya ialah pernyataan mereka tentang penindasan terhadap kaum perempuan sebagai suatu persoalan yang bersifat fundamental di mana Anshori, Kosasih, dan Sarimaya (1997: 23) menjelaskan bahwa persoalan-persoalan tersebut dapat diinterpretasikan dengan perlbagai cara antara lain:
Secara historis, perempuan merupakan kelompo tertindas yang pertama di dunia. Bentuk penindasan berikutnya adalah penindasan berdasarkan warna kulit (negro), penindasan budak dan buruh (perbudakan) dan lain-lainnya.
Penindasan atas perempuan terjadi secara universal, meluas di hampir seluruh masyarakat dunia. Akan tetapi perbudakan, misalnya hanya ditemukan di negara-negara tertentu.
Penindasan terhadap permpuan adalah bentuk penindasan yang paling tersulit untuk dihapuskan dan tidak dapat dihapuskan oleh suatu undang-undang atau suatu perubahan sosial seperti yang terjadi dalam kasus penghapusan pengkelasan dalam masyarakat.
Penindasan terhadap perempuan menyebabkan korbannya sangat menderita secara kuantitatif dan kualitatif. Akan tetapi, penderitaan ini acap kali tidak terkenali sebagai akibat prasangka negatif menurut acuan jenis kelamin dari pihak yang tertindas (perempuan) dan yang menindas (laki-laki) bahwa hal tersebut sudah merupakan suatu kewajaran dan alami. (Rohman dan Emzir, 2015: 134-135)
PEMBAHASAN
Novel Daerah Salju terjemahan Matsuoka Kunio dan Ajip Rosidi dan cerpen Sarinah Kembang Cikembang karya Satyagraha Hoerip adalah karya yang mengangkat isu tentang perempuan. Novel Daerah Salju mengangkat cerita seorang wanita yang menjadi geisha di daerah salju, pulau Honsu yang terletak di Laut Jepang. Sarinah Kembang Cikembang mengangkat isu perempuan yang hidup dengan seksualitasnya sebagai WTS. Kedua cerita ini mengangkat objek perempuan yang masih berada dalam tataran subordinat, posisi perempuan dalam kedua prosa ini juga tidak memosisikan bentuk perlawanan terhadap laki-laki. posisi yang menjadikan wanita sebagi permasalahan yang fundamental dalam feminisme.
Kedua prosa ini memosisikan perempuan dalam ruang dan tataran yang sama. Daerah Salju memposisikan tokoh wanita yang bernama Komako sebagai wanita penghibur yang lebih elegan secara sandang, berbeda dengan Sarinah Kembang Cikembang yang menjadikan tokoh Sarinah sebagai wanita penghibur—atau lebih tepatnya sebagai wanita tunasusila—yang lebih seksi. Secara seksualitas, SKC lebih vulgar dan digambarkan jelas, sementara DS dibawakan karakter Komako dengan lebih lembut dan diselipkan.
Artikel ini bertujuan untuk mengungkapkan kepada pembaca atas motif-motif yang mendasari atau melatarbelakangi tokoh perempuan dalam karya SKC dan DS menjadi wanita penghibur. Dasar-dasar cerita prosa yang ‘nakal’ ini memperlihatkan bisa menjadi sampel atau asumsi untuk wanita penghibur lainnya.
Perbandingan antara SKC dan DS yang didasari oleh motif-motif yang membuat para tokoh Sarinah dan Komako bekerja sebagai wanita penghibur di negaranya masing-masing. Sarinah di Pulau Jawa dan Komako di Jepang.
Motif-motif apa saja yang menyebabkan tokoh perempuan dalam kedua karya tersebut mempekerjakan diri mereka sebagai wanita penghibur? Motif-motif ini sebagai dasar yang menjadi asumsi yang subjektif pada setiap orang, tubuh wanita yang diperdagangkan dengan harga yang disepakati adalah kerendahan harga diri, namun di sisi lain apa yang dirasakan oleh para wanita yang hidup dengan penuh beban berat. Artikel ini tidak memihak pada perspektif manapun, tetapi akan memaparkan apa-apa saja yang menjadi motif-motif atau dasar perempuan menjadi wanita penghibur. Apakah wanita penghibur di Jepang sama motifnya dengan di Indonesia? apakah sebutan geisha mengartikan sama dengan WTS?
Pada bagian ini, penulis akan merincikan dari kedua prosa tersebut yang menjadi motif-motif sebagai seorang wanita penghibur. Bagian ini pula, penulis melihat bagian persamaan dan perbedaan dari kedua cerita.
PERSAMAAN
Keadaan sakit seseorang.
Permasalahan perempuan dikaitkan dengan seseorang dalam cerita yang mengalami suatu penyakit, hubungan antartokoh sebagai seorang yang mengasuhnya ataupun sebagai penafkah hidup tokoh yang sakit. Disampaikan oleh tokoh pembantu yang menjelaskan keadaan dan kondisi tokoh yang sakit kepada tokoh perempuan sebagai penafkah. Dalam novel DS hal itu terjadi.
“Ya? Karena laki-laki itu sakit lama di Tokyo, anak yang bernama Komako itu menjadi geisha dalam musim panas ini dan mengirimkan biaya untuk rumah sakit, tapi bagaimana akibatnya, ya” (DS, Hal.46)
Kondisi seperti ini yang membuat permasalahan Komako yang mengharuskan ia menjadi seorang geisha. Bekerja sebagai wanita penghibur untuk kepentingan orang lain. begitu juga yang terjadi pada Sarinah sebagai tokoh yang mengalami keadaan sebagai wanita yang menafkahi keluarga. Bahkan, Sarinah diceritakan lebih kompleks permasalahan yang ia hadapi. Permasalahan itupun dimunculkan oleh tokoh pembantu.
“Emak itu perlu sekali uang, Inah. Kalau tidak, masa’ itu sampai saya perlukan ke mari? Jauh-jauh? Bapakmu itu sakitnya kan juga bukan main.” (SKC, Hal. 124)
Kutipan dialog di atas disampaikan oleh tokoh Mang Adung ketika bertemu dengan Inah yang baru selesai menjalankan kegiatan malamnya itu sebagai wanita penghibur. Dalam kondisi seperti itu, Inah sendiri sedang tidak memiliki banyak uang untuk memberikan ‘rezeki’ kepada keluarganya di kampung. Kondisi itu juga didasari oleh keadaan bapak Inah yang sakit parah. Beban yang diterima saat tidak memiliki uang dan harus memberikan uang kepada keluarga.
Penghasilan
Uang menjadi faktor yang prioritas dalam hal ini. Penghasilan yang didapat dari wanita penghibur tidak sedikit, dari pelanggan yang tidak biasa-biasa saja. Terlebih jika pelayanan yang diberikan memuaskan, bisa jadi mendapatkan uang lebih.
“Sekarang saya mau bekerja supaya mendapat uang banyak. Mendapat uang, mendapat uang,” (DS, Hal. 103)
Dalam novel DS, Komako mengatakan ia bekerja agar mendapatkan banyak uang. Bayaran yang tidak sedikit yang bisa didapatkan dalam waktu cepat membuat pekerjaan ini menjadi pilihan, memang harus rela menjual diri. Begitu pula dalam SKC, Inah melakukan kegiatan yang didasari oleh kebutuhan yang kompleks.
Oleh peristiwa yang ia alami tadi siang, Inah rajin benar mandi sore. Sekujur tubuhnya ia gobrot dengan sabun wangi. Selesai bersolek ia mejeng di jalam besar di muka kawasan hiram. Bukan dengan cara menunggu sambil main kartu, namun dengan mondar-mandir sambil mengobral senyum dan sapaan. Kepahitan hidup dan optimisme mendapatkan mangsa, berjalan bersama-sama di kalbunya. Ia yakin malam itu ia akan mendapat banyak uang. (SKC, Hal. 127)
“..... Atau buat menjamin kelangsungan sekolahnya adik-adik atau anak-anak kalian. Atau buat beli obat nenekmu. Atau untuk kirim uang ke desa karena anak-anakmu ditinggal minggat suamimu. Betul, nggak, Inah?” (SKC, Hal. 131)
Kutipan dalam cerpen SKC, tergambarkan dengan narasi yang deskriptif sehingga menjelaskan tubuh yang harus harum dan berpenampilan menarik dan paras yang elok menjadi bagian utama untuk dilihat pelanggan. Tujuan utamanya tetap pada penghasilan yang cukup.
PERBEDAAN
Niat
Komako sebagai tokoh yang menjadi geisha didasari dengan niat yang tulus dan sungguh. Hal itu dibuktikan dalam dialog berikut.
Komako selalu mau menghindar dari pembicaraan tentang Yukio. Walaupun mereka tidak bertunangan, ia menjadi geisha untuk menolong biaya perawatannya, jadi betul hal itu memang ‘sungguh-sungguh’. (DS, Hal. 94)
Pada cerita SKC, tokoh Inah melakukan atas dasar keterpaksaan atas apa yang dilakukannya. Hal ini terlihat jelas oleh dialog berikut.
“..... Maka, inah, mereka korupsi bukan karena terpaksa seperti kalian para WTS.” (SKC, Hal. 131)
Dialog diatas memperlihatkan pekerjaan yang dilakukan oleh Inah benar-benar ats dasar keterpaksaan. Perbedaan niat ini menjadikan hal yang menarik, wanita penghibur sebagai geisha dianggap sesuatu hal yang biasa dan diterima, namun WTS adalah pekerjaan yang didasari niat yang terpaksa sehingga dipandang ilegal.
KESIMPULAN
Daerah Salju maupun Sarinah Kembang Cikembang dari motif-motif yang telah dirincikan di atas memperlihatkan ada sisi yang sama dan ada dasar yang menjadikan perbedaan. Sisi yang sama berdasarkan dari cerita di atas masalah tokoh-tokoh yang mengalami sakit dan uang adalah faktor yang menjadikan mereka sebagai wanita penghibur. Kemudian pada perbedaannya di Daerah Salju dasar melakukan dengan tulus atau sungguh-sungguh. Namun, di Sarinah Kembang Cikembang tokoh Sarinah menjadi seorang WTS atas dasar keterpaksaan karena tuntutan ekonomi yang lebih kompleks.
SARAN
Penelitian ini belum mencapai pada puncak permasalahan. Penulis menyadari akan kekurangan yang ada dalam penelitian ini, maka perlu dirasa adanya saran yang dapat membuat penelitian ini lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Emzir, M.Pd., Prof. Dr dan Rohman, M.Hum., M.Si., Dr. Saifur. 2015. Teori dan Pengajaran Sastra. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Hoerip, Satyagraha. 1993. Sarinah Kembang Cikembang.Jakarta: Puspa Swara.
Kawabata, Yasunari. 2016. Daerah Salju. Diterjemahkan oleh: Matsuoka Kunio dan Ajip Rosidi. Jakarta: KPG.
Rohman, M. Hum., M.Si., Dr. Saifur.2014. Kritik Sastra Indonesia Abad XXI: Pengantar tentang Pendekatan, Metode, dan Model Kritik yang Relevan. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Susanto, S.S., M.Hum., Dwi. 2016. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: CAPS.
Komentar
Posting Komentar