Perbandingan pada Novel “Bukan Pasar Malam”.Karya Pramoedya Ananta Toer dengan Novel novel “Dua Ibu” karya Arswendo Atmowiloto: Sastra Bandingan
Perbandingan pada Novel “Bukan Pasar Malam”.Karya Pramoedya Ananta Toer dengan Novel novel “Dua Ibu” karya Arswendo Atmowiloto: Sastra Bandingan
Elfa Dhea Nada
FBS Universitas Negeri Jakarta
Surel: elfadheanada97@gmail.com
- Sinopsis novel “Bukan Pasar Malam”.Karya Pramoedya Ananta Toer
Bukan pasar malam karya Pramoedya Ananta Toer ini mengisahkan pemuda yang memiliki ayah seorang pejuang nasionalis. Sang ayah terkena penyakit TBC, kemudian ia mengirim surat kepada sang anak yang saat itu tinggal di Jakarta untuk kembali ke Blora kediaman ayah dan keluarganya. Selama perjalanan pulang ke Blora pemuda tersebut didampingi oleh istrinya yang keturunan pasundan, ia gadis yang cantik namun cerewet, mereka baru menikah setengah tahun yang lalu. Selama perjalanan sang pemuda mencoba memerkenalkan keindahan daerah asalnya kepada istri terkasih, hingga akhirnya pemuda tersebut tiba di kampung halaman dan bertemu sang ayah tercinta yang tergolek lemah tak berdaya karena TBC.
Sang anak pun bertemu ayahnya di pembaringan rumah sakit, saat bertemu tangis haru menyelimuti mereka. Pemuda tersebut merasa miris melihat ayahnya yang dahulu berdiri kokoh sebagai seorang pemimpin perang gerilya yang cerdik, seorang guru yang hebat, seorang politikus pro rakyat yang ulung kini menjadi sesosok makhluk tak berdaya dengan TBC yang menggerogotinya. Sang anak ingin membawa ayahnya ke dokter spesialis namun terkendala oleh keuangan keluarga yang tidak mendukung. Saat saat seperti itulah keakraban antara ayah dan anak yang telah lama terpisah mulai kembali terjalin, begitu pula keakraban antara sang pemuda dengan adik-adiknya juga kembali dieratkan oleh suasana dan keadaan. Namun tiba tiba sang istri meminta pemuda tersebut untuk kembali ke Jakarta dengan alasan keuangan yang memprihatinkan. Pemuda tersebut mengiyakan permintaan sang istri terkasih, akhirnya pemuda tersebut mengutarakan keinginan untuk kembali ke Jakarta kepada sang ayah, namun sang ayah menolak dengan halus dan meminta waktu seminggu lagi agar anaknya tersebut sudi menemaninya.
Waktu berjalan penuh dengan keakrabang ayah dan anak. Tanpa mereka sadari, satu minggu terlewati sudah, namun akhirnya sang anak malah tidak ingin beranjak pergi karena ia merasa memiliki kewajiban untuk menemani ayahnya yang tergolek lemah tak berdaya, maklum saja ia merupakan anak pertama dalam keluarga mereka. Kejadian yang tak diinginkan akhirnya terjadi juga, sang ayah meninggal dunia setelah dia dibawa pulang ke rumah oleh anak-anaknya. Tangis pilu tak terhindarkan, suasana hening menyelimuti keluarga mereka, rumah yang terlihat memprihatinkan turut menghiasi kesedihan mereka setelah ditinggal pergi orang tua tunggalnya. Setelah kepergian sang ayah pemuda mendapatkan banyak pembelajaran, hingga akhirnya ia menyadari bahwa kehidupan di dunia ini bukanlah seperti pasar malam, berduyun-duyun datang dan berduyun-duyun pula kembali, melainkan mereka menanti kepergiannya dengan segala hal yang masih dapat mereka lakukan.
- UNSUR INTRINSIK
Unsur Inrinsik adalah unsur yang terkandung dalam karya sastra yang membangun keutuhan cerita, sepereti alur, penokohan, setting, dan tema.
1.Tema
Tema berasal dari bahasa Latin yang berarti ”tempat meletakkan sesuatu”. Selanjutnya dapat dirumuskan bahwa tema adalah gagasan atau ide dasar yang melandasai suatu karya sastra.Jadi tema yang terdapat dalam novel bukan pasar malam yaitu “perjalanan seorang anak revolusi”.
2.Alur
Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa, sehingga membentuk cerita yang dihadirkan oleh para pelakunya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa alur merupakan tumpuan ide, tendens dan motif yang disalurkan dari peristiwa dan perwatakan dalam prosa fiksi.Adapun alur yang terdapat dalam novel bukan pasar malam adalah alur maju.
3.Latar/Setting
Setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa, serta mempunyai fungsi fisikal dan fungsi psikologis (Aminuddin, 1987:67). Menurut batasan tersebut, setting dibedakan menjadi setting tempat, setting waktu, dan setting suasana.
Keberadaan latar atau setting dalam suatu cerita sangat penting, hal itu tidak hanya dilihat dari fungsi tetapi juga dalam hubungannya dengan unsur intrinsik yang lain untuk membentuk sastu kesatuan mewujudkan tema cerita. Di mana, kapan, dan bagaimana tokoh berada dalam cerita, maka disitulah peran setting teridentifikasi. Selain memberi informasi tentang situasi ruang dan waktu, setting juga berfungsi sebagai proyeksi keadaan batin para tokoh dalam cerita.
- Latar Tempat
Latar tempat mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalamsebuah karya fiksi.
- Rumah Sakit : “Sore itu aku menengok ke rumah sakit dengan istriku dan kedua adikku”.
- Rumah (blora) : “Kala aku masuk ke dalam rumah”.
- Stasiun Kereta Api : “Subuh-subuh kami telah pergi ke stasiun”.
- Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah ” kapan ” terjadinya peristiwa- peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
- Pagi/Subuh : “Subuh-subuh kami telah pergi ke stasiun”.
- Siang : “Waktu itu baru jam setengah satu siang”.
- Sore : ” Sore itu aku menengok ke rumah sakit dengan istriku dan kedu adikku”.
- Malam : “Malam itu adikku yang ketujuh masih juga menangis”.
- Latar Suasana
Latar suasana pada novel tersebut mengharukan.Dalam kalimatnya “ “Kemarin dan kemarin dulu bapak tersenyum saja banyak senyumnya. Tapi tadi… tadi…”.
4.Sudut Pandang
Sudut pandang pada novel tersebut yaitu orang pertama.Dalam kalimatnya “Sesungguhnya surat itu takkan begitu menyayat hatiku, kalau saja aku tak mengirim surat yang berisi sesuatu yang tak enak untuk dibaca”.
5.Penokohan
Menurut Aminuddin (1987), penokohan adalah cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi. Penokohan yang paling sederhana adalah pemberian nama atau sebutan. Lebih lanjut penokohan dapat diidentifikasi dalam penggambaran fisik, jenis kelamin, umur, karakter, status sosial, dan lain-lain, yang dapat menghidupkan tokoh dalam cerita fiksi.Penokohan pada novel tersebut yaitu:
- Aku (tokoh utama) : perasa
Dalam kalimatnya:
“Aku mengeluh. Hatiku tersayat. Aku memang perasa”.
- Istri (aku) : Agak cerewet
Dalam kalimatnya:
“jangan terlalu lama di blora,” kata istriku.Kupandangi istriku itu. Aku rasai keningku jadi tebal oleh kerut-mirut. Dan aku menjawab pendek : “kita melihat keadaan dulu.”
Sebentar bayangan kenangan pada ayah hilang. “barang kali kalau terlalu lama, aku terpaksa pulang dahulu.”
- Ayah : penyabar, penuh perjuangan
Dalam kalimatnya:
“alangkah kuatnya. Aku yang baru dinas delapan belas tahun rasa=rasanya sudah tak kuat lagi…”.
6.Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah adalah pemanfaatan kekayaan bahasa, pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu, keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra dan cara khas dalam menyampaikan pikiran dan perasaan, baik secara lisan maupun tertulis.
Gaya bahasa yang terdapat pada novel bukan pasar malam adalah:
- antara gelap dan lembayung sinar sekarat di barat yang merah …
- Kalau engkau tidak yakin betul, lepaskan cita-citamu untuk jadi guru itu, kataku. Seorang guru adalah kurban – kurban untuk selama-lamanya”.
7.Amanat
Amanat adalah Adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca.Amanat dalam cerita bisa berupa nasihat, anjuran, atau larangan untuk melakukan/tidak melakukan sesuatu. Yang jelas, amanat dalam sebuah cerita pasti bersifat positif.
Amanat dari novel bukan pasar malam yaitu:
- seseorang takkan bisa kuat bila ingin melawan kematian.
- perjuangan bukanlah sebuah formalitas.
“Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang… seperti dunia dalam pasar malam. Seorang-seorang mereka datang… dan pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah kemana”.
- Sinopsis novel “Dua Ibu” karya Arswendo Atmowiloto.
Novel Dua IBU adalah cerita tentang perjuangan seorang “IBU” yang membesarkan anak-anaknya. Dalam kehidupan ada dua macam ibu. Pertama,ialah sebutan untuk perempuan yang melahirkan anaknya. Kedua,ialah sebutan untuk perempuan yang merelakan kebahagiannya sendiri buat kebahagiaan anak orang lain. Yang paling istimewa jika dua macam sifat itu bergabung menjadi satu. Aku bercerita karena aku memiliki. Aku memiliki dan ia ku panggil ibu. Begitulah pengakuan mamid. Demikian juga pengakuan 8 anak yang lain yang dikeluargakan karena kasih sayang ibu dan ayah. Mereka adalah Solemah,Mujanah,Jamil,Adam,Ratsih,Herit,Priyadi dan Prihatin.
Solemah adalah salah satu anak ibu yang sulung,telah menuikah dengan seorang prajurit Angkatan Laut dan kini mengikuti suaminya di Surabaya. Setelah kakaknya menikah,setahun kemudian Mujanah juga menikah dengan Agus. Berbeda dengan solemah,Mujanah tidak dibawa pergi oleh suaminya tetapi tetap tinggal bersama ibu dan adik-adiknya yang lain. Walaupun miskin,demi kebahagiaan anaknya ibu rela menjual semua barang berharga bahkan tidak makan selama 3 hari dan seminggu tetapi ia (IBU) dengan tulus melakukannya.
Mamid (Aku) dibawa orang tuanya ke Jakarta karena Mamid sebenarnya adalah anak tante Mirah dan om Bong. Ia ditinggalkan waktu masih bayi dan diasuh oleh IBU. Mamid senang tinggal bersama orang tuanya tetapi Ia tidak begitu menyukai ibunya (tante Mirah) karena terlalau banyak aturan. Walaupun Mamid sudah pulang ke rumah orang tuanya Ia selalu ingat dan rindu dengan IBU yang di Solo yang sudah mengasuhnya dari kecil.
Jamil pergi ke Jakarta demi mengejar cita-citanya menjadi seorang Angkatan Laut dan Petinju. Ikut truk dengan pengendara yang tak dikenal,menjadi penyelundup,ditahan di Singapura dan jadi petinju serta hukuman 20 tahun yang batal karena seorang lelaki menolongnya dengan uang jaminan. Lelaki itu memperkenalkan diri sebagai ayah kandung Jamil.
Adam sudah bekerja dan tidak sekolah lagi. Priyadi dan Prihatin secara paksa diambil oleh ayahnya (Pak Dewiro) karena mereka adalah anaknya. Tetapi kini mereka telah tinggal bersama Adam lagi karena ayahnya telah menikah. Herit ikut bersama Ratsih dan suaminya di Surabaya karena suaminya bekerja sebgai prajurit Angkatan Laut yang berpangkat Sersan.
IBU selalu menjenguk dan merawat Mujanah karena Ia sering sakit-sakitan. Walaupun anak-anaknya yang lain jauh mereka selalu mengirim surat buat IBU untuk memberikan kabar keadaan mereka di sana.
Om Bong (ayah Mamid) masuk penjara karena dituduh sebagai antek Amerika agen CIA. Tante Mirah (ibu kandung Mamid) meninggalkan rumah namun kini telah kembali lagi kepada anak-anaknya (Mamid,Mamine, dan Margaret).
Untuk anak cucu semua di Jakarta.
Hidup itu adakalanya gelap adakalanya terang.
Jangan terlalu sedih kalau lagi gelap,jangan terlalu gembira kalau lagi terang. IBU tak bisa apa-apa,berjalan pun sekarang tak bisa. mintalah selalu kepada Tuhan. Tuhanlah yang maha mengetahui. BagiNya selalu ada jalan bagi kita yang meminta. Kalian masih sembahyang di gereja kan?
Ibumu
Itulah surat terakhir yang diterima Mamid dari IBU setelah IBU meninggal semua anknya pulang ke Solo untuk melihat ibunya yang terakhir kalinya dan mengurus pemakaman ibunya. Tetapi setiap tanggal dan bulan kematian ibu mereka,mereka sekeluarga berkumpul di Solo. Semua membersihkan makam bersama. Mereka yang sebenarnya berasal dari berbagai keluarga,dialiri darah yang sama. Darah IBU. Darah seorang yang mengorbankan kebahagiannya sendiri untuk kebahagiaan orang lain. IBU sudah menjadi seorang ibu tetapi masih ingin menjadi ibu bagi anak-anak yang lain. IBU adalah orang yang bahagia.
Unsur intrinsik novel “Dua Ibu”
1. Tema
Tema dalam novel Dua Ibu yaitu perjuangan dan pengorbanan serta kesabaran seorang ibu yang membesarkan anak-anaknya,mendidik dengan penuh kasih sayang dan tanggung jawab tanpa memperdulikan dari rahim siapa anak itu dilahirkan.
2. Penokohan
Ayah : penyayang,pintar,terlalu awas (hal.24 dan 25)
Ibu : penyayang,perhatian (hal.11,12)
Aku (Mamid) : manja,penakut,suka usil,suka menolong (hal.42 dan 54)
Solemah : baik hati,perhatian (hal.11)
Mujanah : pemarah (hal.53,54)
Jamil : baik hati,keras (hal.44 dan 108)
Ratsih : rajin,pemalu,penakut (hal.41 dan 185)
Om Bong : royal dan banyak uang,galak,sombong (hal.79 dan 299)
Tante Mirah : suka mengatur,pemarah,suka cemburu (hal.18,135,129)
Adam : pendiam,rajin (hal.96)
Lukman : teman Mamin yang jago karate,pemarah (hal.125)
Bibi’ : baik hati dan suka menasehati (hal.143-144)
Herit : keras (hal.237)
Frans : perhatian,setia kawan (hal.260-264)
Untung Subarkah : baik hati,sopan,suka minder (hal.238,176)
John : pemarah dan disegani (hal.226)
Priyadi dan Prihatin : penurut Mbok grambul : pekerja keras (hal.82)
Tikem : baik hati (hal.90,91)
Pak Dokter : baik hati (hal.56)
Bu Bei : baik hati (hal.49)
Agus : suka menyuruh dan pelit (hal.17)
3. Latar/Setting
Novel “Dua Ibu” bersetting tahun 6o-an di kota Solo,Surabaya,Jakarta,Malang,Singapura,Taman Sri Wedari.
4. Alur/Plot
Alur yang digunakan dalam novel ini adalah alur maju atau progressif,tidak selalu berurutan tetapi berangkaian. Cerita ini dimulai dari pengenalan sosok seorang ibu yang berbeda dengan ibu-ibu yang lain dalam dunia kehidupan. Kemiskinan,penderitaan,kesabaran,pengorbanan dan perjuangan seorang ibu begitu besar di mata anak-anaknya walaupun mereka bukanlah anak yang selama ini mereka panggil ibu. Hingga akhirnya sosok ibu itu meninggal. Ibu adalah orang yang rela mengorbankan kebahagiaannya sendiri untuk kebahagiaan orang lain.
5. Sudut Pandang
Orang pertama. Pada novel ini pusat pengisahan menggunakan teknik Author participant yaitu pengarang turut serta mengambil bagian dalam cerita. Pengarang menggunakan kata ganti “aku” untuk tokoh utamanya (hal. 9)
6. Amanat
Amanat dalam novel ini yaitu rasa cinta dan ketulusan hati seorang ibu mampu mengatasi kesulitan apapun,karena ibu dalah segalanya bagi hidup kita dan jangan pernah sia-siakan perjuangan dan pengorbanan seorang ibu selama ini dan bahagiakan mereka selama kita bisa.
7. Gaya Bahasa
Bahasa yang digunakan oleh pengarang sederhana dan mudah dicerna isinya sehingga pembaca dapat memahami dengan mudah pesan atau maksud yang ingin disampaikan oleh pengarang.
Novel “Dua Ibu” karya Arswendo Atmowiloto, adalah novel sederhana yang akan membius anda dalam rasa cinta yang dalam untuk seorang Ibu. Sedangkan novel “Bukan Pasar Malam”.Karya Pramoedya Ananta Toer merupakan karya sastra pada periode 45-an. Dalam karya sastra ini sudah mengandung konsep humanisme universal yang berusaha memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur yang berlaku bagi setiap manusia dan setiap bangsa. Cerita ini dilatarbelakangi oleh seorang yang revolusioner yang pulang ke kampung halaman untuk menjenguk seorang ayah yang sedang sakit parah.
Komentar
Posting Komentar