SEMANGAT KEBEBASAN TOKOH GEISHA DALAM NOVEL DAERAH SALJU KARYA KAWABATA YASUNARI DAN NOVEL PEREMPUAN KEMBANG JEPUN KARYA LAN FANG : SUATU STUDI FEMINISME

SEMANGAT KEBEBASAN TOKOH GEISHA DALAM NOVEL DAERAH SALJU KARYA KAWABATA YASUNARI DAN NOVEL PEREMPUAN KEMBANG JEPUN KARYA LAN FANG : SUATU STUDI FEMINISME

Oleh: Naning Nur Wijayanti
2125152730

Setiap karya sastra hampir dapat dipastikan terdapat kepenokohan di dalamnya. Karya sastra yang memiliki deskripsi tokoh di dalamnya tidak akan terlepas dari pesan apa yang akan disampaikan kepada pembaca. Apresiasi, analisis, bahkan penelitian-penelitian dilakukan untuk mengungkap makna di balik penokohan dalam suatu karya sastra.

Seperti kali ini, akan dibahas mengenai perbandingan semangat kebebasan dari dua novel dengan jenis, pengarang, dan latar belakang yang berbeda. Persamaan tokoh geisha di kedua novel inilah yang menjadi objek kajian. Kedua novel tersebut mengangkat mengenai kehidupan geisha, dengan perbedaan latar dan masalah.

Dalam novel karya Yasunari Kawabata, digambarkan sosok geisha dengan latar desa bersalju di Jepang, berbeda dengan novel karya Lan Fang yang berlatarkan di Surabaya, pada era kekuasaan Jepang di Indonesia. Latar belakang psikologis sang geisha yang bernama Komako yang terpaksa menjadi geisha di dalam novel Daerah Salju ini pun juga berbeda dengan Matsumi, dalam novel Perempuan Kembang Jepun yang dengan sukarela menjadi seorang geisha.

Namun dari sekian banyak perbedaan dalam kedua tokoh tersebut, ada –setidaknya- dua persamaan yang menonjol di anatara keduanya. Pertama karena mereka sama-sama seorang geisha. Kedua adalah mereka sama-sama memiliki semangat kebebasan. Adapun semangat tersebut lebih mengacu atau dapat diidentifikasikan sebagai feminisme moderat.

Seperti yang kita ketahui Herman J. Waluyo dalam esainya Feminisme dalam Pengkajian Sastra (1998) yang menyebutkan bahwa teori ini memandang bahwa kodrat perempuan dan laki-laki memang berbeda, yang harus dibuat sama adalah hak, kesempatan, dan perlakuan. Karena itu yang penting adalah adanya hubungan yang sejajar antara perempuan dan laki-laki. Kesejajaran ini merupakan pandangan pokok dari gender.

Tokoh Komako dalam novel Daerah Salju yang diceritakan mencintai Shimamura, lelaki dari Tokyo yang datang ke desanya untuk berlibur. Sebagai seorang geisha, sudah pasti Komako tidak akan bisa menjalin kasih dengan seorang lelaki yang telah memiliki istri. Diceritakan pula bahwa Komako akan dinikahkan dengan seorang lelaki penyakitan. Calon suaminya yang sakit ini dirawat oleh Yoko, sampai pada kemudian sang calon suami meninggal, Yoko tetap mencurahkan kasih sayang kepada calon suami Komako. Adapun hubungan Komako dan Yoko adalah kebencian yang Komako terhadap Yoko. Hal itu dikarenakan Yoko juga dicintai oleh Shimamura yang jatuh cinta pada suara lembut dan mata Yoko. Shimamura dan Yoko bertemu di kereta saat perjalanan menuju ke desa salju.
Adapun sisi semangat kebebasan dalam diri Komako adalah hasratnya untuk memiliki Shimamura, terlepas saat itu Komako masih menjadi seorang geisha, Shimamura masih memiliki istri di Tokyo, bahkan terlihat pada semangat kebebasan Komako adalah karakteristik kebencian Komako terhadap Yoko.

Dapat terlihat dalam novel tersebut, tokoh Komako digambarkan sebagai sosokyang tenggelam dalam ego, terlihat dari cara kasar peneriman tokoh ini terhadap tokoh Yoko. Komako selalu cemburu pada Yoko ketika didekati oleh tokoh Shimamura. Semangat kebebasan yang lebih menonjol adalah saat tokoh Komako tidak memerdulikan bahwa Shimamura telah memiliki seorang istri.

Komako tetap mempertahankan ego untuk bebas pada pilihannya bahkan ketika Komako hanya mendapatkan kesia-siaan dalam kisah cintanya. Pada akhir cerita, penyesalan terhadap egonya memuncak ketika Yoko meninggal dan Komako belum sempat meminta maaf atas perlakuan kasarnya.

Sedikit berbeda dengan tokoh Komako, Matsumi dalam novel Perempuan Kembang Jepun lebih dapat terlihat menata egonya. Diceritakan dalam novel karya Lan Fang ini bahwa Matsumi adalah tokohyangsecara sukarela menjadi seorang geisha saat Matsumi melihat bagaimana kehidupan para geisha di Jepang. Secara praktis, Matsumi ingin kehidupannya terjamin. Dengan menjadi seorang geisha, maka Matsumi berpikir bahwa kehidupannya akan terjamin.

Hal tersebut dirasakannya sebentar ketika Matsumi menjadi geisha istimewa seorang petinggi tentara Jepang. Apapun yang Matsumi inginkan pasti didapat. Sampai ketika Matsumi beradu pandang dengan seorang pribumi tak mampu bernama Sujono. Sebagai seorang geisha yang istimewa, Matsumi sangat dianakemaskan. Namun keinginan bebas dari dunia geisha  dan menjadi wanita seutuhnya mengubahnya menjadi wanita simpanan seorang Sujono yang telah memiliki keluarga.

Keinginan bebas tersebut membuat Matsumi menjadi seorang ibu bagi Kaguya dan istri bagi Sujono. Kahidupan mereka hanya ditopang melalui tabungan Matsumi. Bahkan Matsumi juga sering menyumbangkan tabungannya untuk Sulis, istri Sujono. Karena tidak melihat tanggung jawab dalam diri Sujono dan jatuhnya Jepang, maka Matsumi memilih untuk meninggalkan kehidupannya di Surabaya. Termasuk meninggalkan anak sematawayangnya, Kaguya, karena tidak memiliki dokumen keturunan Jepang.

Pada akhir cerita, Matsumi terpaksa menitipkan anaknya pada kuil dan meninggalkannya pergi ke Jepang dengan menyamar sebagai orang Cina, karena stereotip pada Jepang saat itu sedang pada puncaknya. Beberapa tahun kemudian, Matsumi menemukan cintanya yang baru, mengadopsi anak. Anaknya tersebut diceritakan adalah anak angkat dari Lestari, yang belakang diketahui adalah anak dari Matsumi.

Perbandingan tokoh geisha dalam kedua novel tersebut terlihat dari sisi konteks semangat kebebasan. Bersandar pada teori feminism moderat, kedua tokoh tersebut menunjukkan kodrat perbedaan gender, namun juga menginginkan kesetaraan hak, kesempatan, dan perlakuan. Hal tersebut dapat terlihat pada tokoh Komako dalam novel Daerah Salju karya Kawabata Yasunari yang menggunakan asas kesetaraan kesempatan untuk mencintaidan dicintai oleh Shimamura. Sedangkan tokoh Matsumi dalam novel Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang, lebih mengusahakan kesetaraan hak. Hak atas kebahagiaan, hak atas kehidupan yang lebih baik, hak atas memiliki jalan hidupnya sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Fang, Lan. 2007. Perempuan Kembang Jepun. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Suarmayani, Putu Ika. Penokohan dalam Novel Yuki Guni Karya Kawabata Yasunari Kajian Psikologi Sastra. (esai)
Waluyo, Herman J. 1998.  Feminisme dalam Pengkajian Sastra. (esai)
Yasunari, Kawabata. 2009. Negeri Salju. Terj. A.S. Laksana. Jakarta: Gagas Media.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEMIOTIKA MAKNA PADA LIRIK LAGU MANUSIA KUAT – TULUS

DESKRIPSI WARNA PADA IKON LAYANAN ON-DEMAND GO-RIDE, GO-CAR, GO-FOOD PADA APLIKASI GO-JEK

Ikon, Indeks, dan Simbol Dalam Lambang Centang: Kajian Semiotika