Fenomena Sosial dalam Novel Bukan Pasar Malam dan Relevansinya dengan Kehidupan Masa Kini
ANDRIAN RISADI
3 Sastra Indonesia
2015
Bukan Pasar Malam merupakan sebuah novel karangan Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan pada tahun 1951 oleh Balai Pustaka, kemudian dinyatakan terlarang pada tahun 1965. Novel ini berkisah tentang perjalanan seorang perwira yang pulang ke kampungnya yaitu Blora karena ayahandanya jatuh sakit. Tokoh "aku" yang menjadi perwira ini mengalami banyak sekali gejolak dalam kehidupannya, mulai dari harus meminjam uang ke rekan seperjuangannya agar bisa menjenguk ayahnya di Blora, sampai ia merasakan duka yang sangat dalam karena selain ayahnya yang sakit, adiknya juga sakit dan mengalami keguguran sampai akhirnya ayahnya pun meninggal pula akibat TBC yang diderita.
Tokoh "aku" ini juga menunjukkan kekecewaannya terhadap pemerintah, karena ia merasa sebagai salah seorang yang berjuang dalam merebut kemerdekaan Indonesia, seharusnya ia dihargai dan dijamin kehidupannya karena sudah mempertaruhkan nyawa nya bagi bangsa & negara. Namun, pada kenyataannya, ia hidup cukup sengsara, mulai dari tak punya cukup uang untuk membiayai ayahnya berobat, hingga ia pun berutang kepada rekannya demi menjenguk ayahnya dan demi pengobatan ayahnya.
Selain itu, dalam novel ini, ada kutipan yang sangat membuka pikiran kita semua sehingga kita sadar bahwa pada hakikatnya kita sebagai manusia akan selalu menghadapi apapun dengan kesendirian, "Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang... seperti dunia dalam pasar malam.... Seorang-seorang mereka datang. Seorang-seorang mereka pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawa nya terbang entah ke mana..."
Dari kejadian-kejadian yang digambarkan dalam novel Bukan Pasar Malam, ada kejadian yang cukup relevan dalam hal "kesulitan biaya pengobatan" di negeri ini. Bisa dicek di:
https://news.detik.com/berita/3635460/cerita-pilu-di-jakarta-bayi-debora-meninggal-karena-tak-ada-biaya
http://m.tribunnews.com/regional/2017/10/31/miris-tak-punya-biaya-seorang-bayi-meninggal-karena-dihangatkan-bermodal-bohlam?page=2
Dari kejadian-kejadian tersebut, dapat dilihat bahwa kejadian-kejadian saat ini juga sama seperti yang digambarkan dalam novel Bukan Pasar Malam yaitu masih ada kesulitan yang dialami oleh masyarakat dalam hal biaya hidup yang berdampak pada kesulitan dalam pembayaran biaya pengobatan anggota keluarga yang sakit hingga anggota keluarganya meninggal. Memang, hidup atau matinya seseorang merupakan takdir yang telah ditentukan, namun setidaknya, usaha atau ikhtiar yang dilakukan untuk mengobati orang lain yang sakit merupakan wujud dalam menjaga keberlangsungan hidup orang tersebut yang mungkin dapat menjadi usaha untuk mencegah kematian orang tersebut.
Satu hal lagi yang ingin penyusun ambil. Memang, manusia pada akhirnya akan mati dalam keadaan "sendirian", tak akan ada yang bisa menolong dan mencegah kematian tersebut, namun selama hidup, bila kita selalu berbuat baik, maka akan banyak orang yang akan terus membantu dan menemani agar hidup ini "tidak benar-benar dilalui sendirian". Namun, pada kenyataannya, karena orang-orang berpikir akan mati dalam keadaan sendirian, maka yang terjadi adalah orang-orang menjadi lebih individualis dan lebih mementingkan kebahagiaan pribadi. Kejadian yang paling menggegerkan akibat dari sifat individualisme itu sendiri adalah banyaknya "penguasa" yang memperkaya dirinya sendiri dengan cara yang keji dan tidak mementingkan kepentingan rakyat-rakyat kecil seperti yang kita lihat di kehidupan "zaman now" ini. Dampak dari perbuatan-perbuatan itu adalah seperti yang penulis sebelumnya cantumkan, yaitu kemiskinan yang dialami banyak orang yang berdampak pada sulitnya menanggung biaya-biaya hidup. Hal-hal tersebut sama seperti yang tokoh "aku" dalam novel Bukan Pasar Malam resahkan, yaitu sikap-sikap para penguasa negeri yang malah sibuk mengurusi & memperkaya dirinya sendiri dan tidak mementingkan nasib-nasib rakyat nya yang kesusahan.
Semoga, dengan tulisan ini, kita semua (termasuk penulis) bisa lebih prihatin akan keadaan sekitar. Lebih peduli akan kesulitan yang orang lain alami. Sifat-sifat individualis yang tertanam akibat perilaku yang dicerminkan penguasa semoga tidak mengakar dan kita bisa menanamkan kembali cita-cita bangsa untuk bergotong royong dan saling menopang dalam berkehidupan.
Komentar
Posting Komentar