EFEKTIVITAS IKON DAN SIMBOL DALAM FASILITAS UMUM UNTUK PENYANDANG DISABILITAS SENSORIK (TUNA NETRA)
EFEKTIVITAS
IKON DAN SIMBOL DALAM FASILITAS UMUM UNTUK PENYANDANG DISABILITAS SENSORIK
(TUNA NETRA)
Naning Nur
Wijayanti
2125152730
Semiotika adalah ilmu tentang tanda.
Tidak hanya karya sastra yang dapat diteliti dengan semiotik, namun hampir
semua bidang ilmu lainnya juga dapat diteliti dengan semiotik. Oleh karena itu
bidang penelitian semiotik menjadi sangat luas dan sukar untuk dijelaskan
batas-batasnya. Dalam Zaimar (2004 :1) semiotik mempunyai dua orang pelopor
yaitu Charles Sanders Pierce (1839-1914) dan Ferdinand de Saussure (1857-1913).
Ferdinand de Saussure, seorang ahli lingustik dari Swiss. Sebagai ahli
linguistik, ia mengadakan pembaharuan besar-besaran di bidang linguistik.
Saussure berpendapat bahwa bahasa adalah sistem tanda yang paling lengkap .
menurut anggapannya, ada kemiskinan dalam sistem tanda lainnya, sehingga untuk
masuk ke dalam analisis semiotik, sering digunakan ilmu bahasa. Namun menurut
Peirce penalaran dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda memungkinkan kita
berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan memberi makna pada apa saja yang
ditampilkan alam semesta.
Saussure dikenal dengan pendapatnya
mengenai konsep diadik dalam semiotika, dimana semiotika adalah hubungan antara
sound (dalam hal ini adalah fon atau
suara) dengan idea (konsep yang ada
dan dipahami dalam pikiran). Hubungan antara penanda dan petanda yang juga
disebut dengan teori speech ini
mengatakan bahwa bahasa harus dibunyikan. Namun, hal tersebut dibantah oleh
teori segitiga tanda yang dikemukakan oleh Charles Sanders Pierce. Pierce
mengungkapkan bahwa dalam semiotika harus terdapat tiga unsur tanda yaitu
representamen, intepretan, dan objek. Konsep triadik ini menyempurnakan konsep
sebelumnya yang dipaparkan oleh Saussure, bahwa menurut Pierce, objek atau
benda konkret adalah hal penting dalam sistem tanda, bukan hanya terpaku pada
bahasa yang dibunyikan.
Dengan demikian ampir semua bidang ilmu
dapat dikaji menggunakan semiotik. Menurut Charles Sanders Peirce, tanda adalah
sesuatu yang mewakili seseorang atau sesuatu yang lain, dalam hal-hal dan
kapasitas tertentu. Sebagai seorang ahli logika Amerika, penelitiannya bertolak
dari bidang filsafat yang mempelajari cara orang bernalar. Ia mengemukakan
beberapa teori tanda yang mendasari perkembangan ilmu tanda modern dan tidak
memberikan teori pada satu jenis tanda saja. Pendapatnya tersebut didasari
karena secara esensial, manusa adalah makhluk tanda, entah dalam berpikir atau
dalam kehidupannya. Maka dari itu, ilmu tanda atau semiotika patut untuk diulas
lebih jauh.
Konsep triadik diatas terdiri dari
representamen, intepretan, dan objek, ketiganya tergabung dalam sebuah
segitiga. Representamen adalah unsur tanda yang mewakili sesuatu. Intepretan
adalah tanda yang tertera di dalam pikiran si penerima setelah adanya
representamen. Sedangkan objek adalah sesuatu yang ditandai, dapat berupa benda
konkret dan berwujud.
Dalam menjelaskan relasi antar ketiga
hal tersebut, Pierce mengungkapkan istilah trikotomi tanda. Secara singkat,
trikotomi tanda digunakan dalam menghubungkan ketiganya, disebutkan oleh Pierce
bahwa dalam hubungan representamen terdapat tiga klasifikasi yaitu, kualisain,
sinsain, legisain. Dalam hubungan intepretan terdapat klasifikasi rema, disen,
dan argumen. Sedangkan dalam objek terdapat tiga klasifikasi pula yaitu, ikon,
indeks, dan simbol.
Pada kali ini tidak akan dijelaskan
keseluruhan klasifikasi-klasifikasi tersebut secara spesifik, hanya klasifikasi
turunan dari objek yang akan diperdalam. Ikon, indeks, dan simbol merupakan
pemilihan tanda yang paling fundamental. Inilah yang membedakan dengan konsep
yang dipelopori oleh Saussure.
Zaimar dalam bukunya Semiotika Dalam Analisis Karya Sastra,
menjelaskan bahwa Ikon adalah hubungan objek yang berdasarkan kemiripan. Jadi,
representamen mempunyai kemiripan dengan objek yang diwakilinya. Berbeda dengan
ikon, indeks menunjukkan hubungan objek yang eksistensial. Artinya adalah
indeks merepresentasikan sesuatu yang dekat dalam kehidupan sehari-hari atau
yang sifatnya berdekatan dan memiliki hubungan dengan yang ditandainya.
Sedangkan simbol merupakan tanda yang paling canggih, hal ini karena simbol
sudah merupakan konvensional atau melalui kesepakatan masyarakat luas bahwa
suatu simbol dapat menjadi tanda dari sesuatu, bahkan sesuatu yang diwakilinya
tersebut memiliki hubungan jauh dari si tanda itu sendiri.
Khusus untuk ikon, terdapat tiga macam
ikon yaitu, ikon tipologis, ikon diagramatik, ikon metaforis. Ikon tipologis,
sesuai namanya yaitu ikon yang memiliki kemiripan bentuk dengan hal yang
ditandai. Ikon diagramatik juga berdasarkan kemiripan namun dalam segi tahapan.
Selanjutnya, ikon metaforis biasanya hanya sebagian saja yang mirip atau
kemiripan dengan yang ditandainya tidak total sifatnya.
Semotika sebagai ilmu tanda dapat
diaplikasikan dalam berbagai hal, tanpa terkecuali suatu penandaan dalam tata ruang
kota. Penandaan sederhana dalam sebuah kota diperlukan khalayak luas untuk
menunjukkan makna dalam suatu hal yang vital. Sebagai salah satu aspek dalam
bermasyarakat, tanda-tanda yang ada dalam suatu tata ruang haruslah efisien dan
efektif serta dapat diterima secara konvensional.
Tata ruang kota didesain sedemikian rupa
agar masyarakat menyadari makna tanda sesuai representamen. Dengan bantuan
objek-objek yang diikutsertakan dalam berbagai tata ruang adalah suatu bantuan
mediator bagi beberapa pihak masyarakat yang membutuhkan, salah satunya adalah
penyandang disabilitas. Seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Republik
Indonesia nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas pasal 18 dan 19
yang menyatakan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak aksesbilitas dan hak
pelayanan publik. Hak aksesbilitas meliputi pemanfaatan fasilitas publik dan
akomodasi yang layak. Sedangkan hak pelayanan publik adalah upaya agar
penyandang disabilitas memeroleh hak pelayanan publik yang optimal, wajar,
bermartabat, dan tanpa diskriminasi, pasal tersebut juga menjelaskan bahwa
penyandang disabilitas berhak memeroleh pendampingan, penerjemahan, dan
penyediaan fasilitas yang mudah diakses di tempat layanan publik tanpa tambahan
biaya.
Namun, pada kenyataannya masih banyak
terdapat rumpang disana-sini. Dalam proses perencanaannya hingga pengaplikasian
desain bangunan dan tata ruang kota, komunitas difabel merupakan suatu kelompok
yang dimarjinalkan. Selalu mendapat pandangan sebelah mata, akibatnya banyak
ruang sudut kota yang tak ramah difabel. Hal ini juga membantu Indonesia untuk
terus menjadi negara yang berkembang, karena pemikiran akan kesejahteraan
penyandang disabilitas belum maju.
Kedua pasal di atas dapat dibantu oleh
semiotika mengenai pemanfaatan tanda-tanda yang ada dalam ruang publik dengan
sasaran penyandang disabilitas. Tanda-tanda yang digunakan dalam fasilitas
publik menjadi sarana bagi penyandang disabilitas. Tentunya, disabilitas itu
sendiri dibedakan menjadi beberapa jenis sesuai dengan apa yang disandangnya.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia,
disabilitas berarti keadaan (seperti sakit atau cedera) yang merudak atau
membatasi kemampuan mental dan fisik seseorang; keadaan tidak mampu melakukan
hal-hal dengan cara yang biasa. Menurut konvensi tentang Hak-Hak Penyandang
Disabilitas di New York pada tanggal 13 Desember 2006 oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa, disabilitas merupakan suatu konsep yang terus berkembang, dimana
penyandang disabilitas mencangkup mereka yang memiliki keterbatasan fisik,
mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama dan ketika
berhadapan dengan berbagai hambatan, hal ini dapat menghalangi partisipasi
penuh dan efektivitas mereka dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan
yang lainnya.
Maka dari itu, telah banyak tata ruang
kota yang dirancang sedemikian rupa agar memaksimalkan aksesbilitas dan
efektivitas mereka dalam masyarakat. Aprilia Pawestri juga mengungkapkan dalam
esainya yang berjudul Hak Penyandang
Disabilitas Dalam Perspektif HAM Internasional Dan HAM Nasional, bahwa
terdapat empat ragam disabilitas berdasrakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016
yaitu penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas intelektual,
penyandang disabilitas mental, dan penyandang disabilitas sensorik.
Dalam memperlakukan penyandang
disabilitas, perlu adanya pemahaman terkait kebutuhan mereka. Di kehidupan
bermasyarakat telah direalisasikan dengan adanya beberapa fasilitas umum untuk
penyandang disabilitas. DKI Jakarta sendiri khususnya sudah mulai menata
sudut-sudut ruang kota menjadi semakin ramah difabel.
Adanya penggunaan ramp, guiding block, portal S, dan bis ramah difabel menunjukkan
adanya peningkatan dalam segi pemerhatian penyandang disabilitas. Namun, walau
begitu fasilitas-fasilitas penunjang tersebut masih jarang sekali terlihat atau
difungsikan dengan baik. Kurangnya sosialisasi bagi pemahaman masyarakat awam
menambah sulit terlaksananya efektivitas dan efisiensi penggunaan fasilitas
umum penyandang disabilitas.
Dapat dicontohkan hal yang paling
sederhana seperti guiding block. Sudah
lumayan banyak trotoar yang sudah terdapat fasilitas penyandang disabilitas
ini, namun kurangnya simbol yang diketahui masyarakat umum justru menjadikannya
sia-sia. Semiotika seharusnya dapat lebih dominan dalam hal ini, kurangnya
tanda-tanda yang konvensional yang dapat dimengerti masyarakat non-difabel.
Tidak seperti bis ramah difabel, yang
terdapat ikon penyandang disabilitas sensorik dengan kursi roda yang dapat
terlihat kasat mata oleh siapa pun termasuk penyandang disabilitas tersebut. Namun,
merupakan sebuah masalah jika guiding
block hanya dapat dirasakan oleh si penyandang disabilitas tanpa adanya
tanda yang membuat masyarakat non-difabel mengerti fungsi guiding block tersebut.
Berdasarkan Open Data DKI Jakarta, pada
tahun 2016 sedikitnya terdapat 6.446 warga DKI Jakarta yang menyandang
disabilitas baik dalam bentuk fisik, disabilitas mental, disabilitas
intelektual, maupun disabilitas sensorik. Menurut Meilanny Budiarti Santoso dan
Nurliana Cipta Apsari dalam esainya Pergeseran
Paradigma Dalam Disabilitas, menyatakan bahwa penyandang disabilitas
merupakan salah satu kelompok minoritas terbesar di dunia, yaitu meliputi 600
juta orang, yang dua-per-tiga dari keseluruhannya berada di negara berkembang.
Namun dengan adanya guiding block seharusnya sedikit banyak dapat membantu aksesbilitas
penyandang disabilitas di wilayah DKI Jakarta. Guiding block memang dirancang sedemikian rupa sehingga tanda dapat
diintepretasikan oleh penyandang disabilitas, khusunya penyandang disabilitas
tuna netra. Mengandalkan sensorik pada bagian kaki yaitu dengan adanya
simbol-simbol lingkaran kecil yang berarti hati-hati
dan garis lurus patah-patah yang artinya jalan
terus, para tuna netra memang terbantukan. Bukan berarti guiding block yang ada sudah efektif dan
efisien.
Masyarakat awam tentunya masih tak paham
dengan tanda dalam simbol tersebut. Dengan adanya sejenis plang informasi
mungkin dapat menambah efisiensi dan efektivitas aksesbilitas penyandang
disabilitas. Hal yang sederhana adalah bahwa tidak adanya lagi pedagang kaki
lima yang memakan jalur guiding block
pada trotoar.
Simbol-simbol penanda tersebut
seharusnya dapat lebih informatif kepada yang non-tuna netra. Sehingga tidak
adanya lagi kesalahpahaman mengenai jalur kuning atau guiding block pada trotoar. Hak asasi penyandang disabilitas yang
tercantum dalam undang-undang pun dapat semakin terealisasikan.
Namun bukan hanya soal tanda-tanda yang
merisaukan eksistensi pembantu aksesbilitas penyandang disabilitas ini. Yaitu masih
terdapatnya human error pada beberapa
guiding block di Jakarta. Seperti contoh
di daerah Pulomas, positifnya guiding
block sudah terpasang rapi, sayangnya guiding
block seakan sia-sia karena dibuat sejalur dengan tiang lampu jalan. Sejalur
yang dimaksudkan adalah benar-benar pas di jalur tiang lampu jalan, sehingga
beberapa bagian guiding block ini
harus diatur sedemikan ruma agar memutari lampu jalan tersebut.
Hal tersebut memperlihatkan belum
efektif dan efisiennya perencanaan dan aplikasi guiding block. Hak aksesbilitas penyandang disabilitas juga sudah
dilanggar karena dapat membahayakan para tuna netra yang mengikuti alur guiding block tersebut. Dalam studi semiotika,
para tuna netra menyerap simbol-simbol yang mereka rasakan dalam objek guiding block yang membantu mereka.
Yang perlu ditegaskan dan memerlukan
simbol lain mengenai guiding block adalah
para non-tuna netra yang awam dengan simbol jalur kuning pada trotoar mereka. Diperlukan
semacam tanda yang dapat berupa ikon yang menunjukkan bahwa jalur tersebut
diperuntukan bagi penyandang disabilitas. Dengan begitu, aksesbilitas para tuna
netra sedikit terhargai oleh tidak terinteferensi oleh pihak lain yang tidak
membutuhkan.
Dalam konsep semiotika, guiding block menunjukkan ciri objek
sebagai simbol. Diperlukan konvensi bahwa hal tersebut adalah jalur bagi
penyandang disabilitas tuna netra. Untuk mencapai konvensi tersebut diperlukan
adanya sosialisasi mengenai apa itu sebenarnya guiding block, apa kegunaannya, diperuntukan bagi siapa saja, dan
bahkan landasan undang-undang serta konsekuensi pelanggaran hak aksesbilitas
bagi penyandang disabilitas. Sosialisasi seperti itu akan sedikit banyak mampu
menyadarkan masyarakat umum pentingnya berbagi dengan minoritas yang juga
membutuhkan dunia yang kita miliki.
Masalah bukan hanya terjadi pada guiding block saja, namun juga perlu
diperhatikan aspek aksesbilitas tuna netra dalam suatu bangunan. Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan mengemukakan bahwa aksesbilitas adalah
kemudahan yang disediakan bagi semua orang termasuk orang yang berkebutuhan
khusus (disabilitas) dan lansia guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam
segala aspek kehidupan dan penghidupan.
Dalam artikelnya yang berjudul Fasilitas Gedung Bagi Masyarakat
Berkebutuhan Khusus (Disabilitas) Menurut UU No. 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan
Gedung, Siti Rohani menyatakan bahwa banyak hal yang masih berantakan dalam
sektor ini. Ketidakadilan pada hak-hak dari penyandang disabilitas adalah hal
yang paling lumrah. Padahal, kesenjangan juga terjadi ketika masyarakat
kekurangan informasi mengenai kebijakan-kebijakan terkait penyandang
disabilitas. Meskipun banyaknya undang-undang, pasal-pasal,
peraturan-peraturan, semuanya hanya menjadi kiasan belaka jika tidak ada yang
mengetahui secara lebih lanjut. Itu mengapa sosialisasi mengenai penyandang
disabilitas perlu digaungkan lebih keras lagi.
Menurut Rahayu Repidowaty Harahap
dan Bustanuddin dalam artikel mereka yaitu Perlindungan
Hukum Terhadap Penyandang Disabilitas Menurut Convention On The Right Of
Persons With Disabilities (CRPD). Secara umum difable dan disabilitas masih
menjadi problem besar di Negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Mereka
adalah bagian dari masyarakat marginal yang tersisihkan dalam proses
pembangunan nasional. Mereka tidak mendapatkan tempat dan posisi yang layak
dalam kehidupan sosial masyarakat.
Semakin dewasa ini, semakin pemerintah
dan lembaga internasional yang memberi perhatian khusus pada kaum difabel ini. Dibuktikan
dengan munculnya agenda-agenda internasional yang membahas pola perlindungan
penyandang disabilitas. Salah satu konvensi yang disahkan yaitu konvensi CRPD
tentang Hak-hak Difabel/Penyandang Disabilitas, telah diratifikasi oleh Negara
Republik Indonesia dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 19 Tahun
2011 (selanjutnya disingkat UU No.19/2011) tentang Pengesahan CRPD. CRPD
merupakan instrument HAM internasional dan nasional dalam upaya Penghormatan,
Pemenuhan dan Perlindungan Hak difabel di Indonesia (Development tool and
Human Rights Instrument). Tujuannya adalah untuk memajukan, melindungi, dan
menjamin kesamaan hak dan kebebasan yang mendasar bagi semua penyandang
disabilitas, serta penghormatan terhadap martabat penyandang disabilitas
sebagai bagian yang tidak terpisahkan (inherent dignity).
Simpulan
Sebenarnya goals dari ini semua tentu saja terwujudnya Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 tentang Penyandang Disabilitas. Dalam pelaksanaannya, banyak hal
yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi semua kalangan. Aplikasi supaya
terwujudnya hak asasi manusia bagi penyandang disabilitas harus menyeluruh dan
oleh karena itu dapat dikatakan membutuhkan dana yang relatif besar. Jika semua
kalangan, baik pemerintah, masyarakat (dalam hal ini membayar pajak untuk
pembangunan), serta partisipasi kalangan swasta dapat berkolaborasi, maka bukan
tidak mungkin akan adanya kesetaraan hak asasi manusia bagi penyandang disabilitas.
Sesederhana itulah makna aksesbilitas dalam simbol-simbol yang ada didalamnya.
Daftar
Pustaka
Aprilia
Pawestri. Hak Penyandang Disabilitas
Dalam Perspektif HAM Internasional Dan Budiman, Kris. 2011. Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem
Ikonisitas. Yogjakarta: Jalasutra.
HAM Nasional. Jurnal Era
Hukum Volume 2, No.1, Juni 2017.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia.
Meilanny
Budiarti Santoso; Nurliana Cipta Apsari. Pergeseran
Paradigma Dalam Disabilitas. Intermestic: Journal of International Studies,
Volume 1, No.2, Mei 2017.
Open
Data DKI Jakarta (Data Penduduk Berdasarkan Disabilitas Tahun 2016.
Pusat
Data dan Informasi, Kementrian Kesehatan RI. Situasi Penyandang Disabilitas
Rahayu
Repidowaty Harahap; Bustanuddin. Perlindungan
Hukum Terhadap Penyandang Disabilitas Menurut Convention On The Right Of
Persons With Disabilities (CRPD). Jurnal Inovatif, Volume VIII, Nomor 1,
Januari 2015.
Siti
Rohani. Fasilitas Gedung Bagi Masyarakat Berkebutuhan
Khusus (Disabilitas) Menurut UU No. 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung.
Jurnal Al-Mazhab, Volume 2, No.2, Desember 2014.
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Penyandang Disabilitas.
Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan CRPD.
Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bagunan.
Zaimar,
Okke Kusuma Sumantri. 2014. Semiotika
Dalam Analisis Karya Sastra. Jakarta: Komodo Books.
.
Komentar
Posting Komentar