ADOPSI FENOMENA TRISKAIDEKAPHOBIA DAN LOGIKA DALAM FILM IT TERHADAP APLIKASI BUDAYA MASYARAKAT URBAN
ADOPSI
FENOMENA TRISKAIDEKAPHOBIA DAN LOGIKA DALAM FILM IT TERHADAP APLIKASI BUDAYA MASYARAKAT URBAN
Naning Nur Wijayanti
2125152730
Triskaidekaphobia adalah nama ilmiah dari sebuah fenomena
fobia terhadap angka 13. Melihat laman National
Geographic Indonesia, fenomena tersebut berasal dari sejarah yang belum
dapat dipastikan validitasnya. Beragam opini yang memiliki stigma negatif
terkesan dikesinambungkan dengan angka 13. Entah dari mana asal-muasalnya, yang
pasti dijaman ultra-modern seperti sekarang masih banyak fenomena triskaidekaphobia
di sekitar kita.
Saya pernah memotret sebuah foto yang saya rasa ada
keterkaitan dengan fenomena ini. Saya adalah mahasiswa yang sedikit banyak
pasti berurusan dengan gedung perpustakaan. Suatu kali saya bertandang ke
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, di jalan Medan Merdeka Selatan.
Gedung yang saya rasa hampir menandingi tingginya Monas. Dengan total 27 lantai
yang terdiri dari 3 lantai di bawah tanah (lahan parkir), dan 24 lantai, saya
rasa gedung perpustakaan tertinggi di dunia ini memiliki fasilitas yang hampir
menyerupai otak manusia. Sangat pintar. Tergambar dari melekatnya teknologi
yang bersanding dengan buku-buku yang ada.
Namun sepintar-pintarnya otak manusia pastilah ada sisi
melankolis-nya. Ya, tanpa dapat dipungkiri gedung dambaan para mahasiswa
tersebut memiliki sisi melankolis yang terselip diantara hamparan teknologinya.
Sisi ‘melankolis’ tersebut adalah adanya paham atau budaya atau dapat kita
sebut triskaidekaphobia. Hal ini terlihat dari foto yang saya ambil di dalam
lift Perpusnas. Ada satu hal yang mengganjal pikiran saya. Di dunia yang telah
melampaui batas modern ini masih terselip pemikiran yang dapat dibilang
‘primitif’ karena masih percaya akan sesuatu yang biasa disebut dengan takhayul.
Dalam beberapa kasus, takhayul memang kadang berperan batasan
atau aturan dan kadang memiliki rasionalitas dibaliknya. Namun sampai sekarang
saya belum mengetahui apa rasionalitas dibalik fenomena ini. Budaya yang
terbawa oleh arus teknologi akhirnya mau tidak mau menyangkut disela-sela
daratan budaya sendiri. Entah ini bernama akulturasi atau bagaimana, saya lebih
melihat ini adalah ‘adopsi’ budaya. Mengapa demikian? Setelah beberapa kali
berseluncur di dunia maya. Saya sedikit
banyak menemukan asal-usul (yang belum tahu jelas bersumber dari mana) yang
mengatakan bahwa fenomena triskaidekaphobia tersebut merupakan ‘settingan’
orang Barat yang bertumpu pada dasar agama Kristen.
Saya tidak akan menjelaskan detail bagaimana asal-muasalnya
(karena semua data yang saya peroleh belum tentu valid) karena ini merupakan
suatu kasus budaya yang jarang tertulis sehingga didominasi sumber lisan. Namun
saya akan sedikit memaparkan mengenai bagaimana peran fenomena atau budaya yang
‘teradopsi’ tersebut sampai bisa dikatakan sebagai budaya sendiri.
Saya sebenarnya belum begitu paham mengapa otak manusia
semelankolis apa sehingga dalam suatu hal yang saklek seperti teknologi harus dimasukkan sisi melankolisnya.
Seperti contoh diatas, angka 13 seperti ‘terdiskriminasi’ oleh kita yang
disebabkan oleh sisi ‘melankolis’ otak manusia yang menghubungkan angka
tersebut dengan sebuah kesialan.
Lalu jika sisi melankolis tersebut sudah menyatu dalam darah
budaya kita, apa yang akan terjadi? Seperti yang sekilas saya sebutkan di atas
bahwa fenomena ini terjadi karena sistem kepercayaan yang dibuat oleh para
Barat yang berlandaskan pada ‘situasi-situasi buruk’ dalam suatu agama yang
kebanyakan dihubungkan dengan angka 13. Dari kekuatan akan manipulasi kepercayaan
di otak kita, membuat sisi melankolis di setiap otak manusia ‘terpenjara’ atau
lebih ringkasnya, triskaidekaphobia digunakan untuk berbagai ‘kepentingan’ sang
pembuatnya. Jelas siapa saja yang berperan, media apa saja yang terlibat, dan
apa saja pengaruh yang ingin diperoleh.
Dalam situasi dimana studi kian berkembang pesat dan
teknologi melebihi kecerdasan pembuatnya maka hal-hal logis pun juga menjadi
fokus pada banyak kajian. Ilmu yang ‘distudikan’ akan sia-sia jika hanya
menemui jalan buntu. Dalam
pencapaiannya, teknologi telah memperlihatkan kelogisan dan kesinambungan
antara kebutuhan, proses, dan output. Sepintar-pintarnya teknologi, teknologi
tidak akan dapat melahirkan teknologi lainnya. Maka disinilah otak manusia
berperan. Namun bagaimana jika otak manusia ‘termelankoliskan’?
Sebenarnya tanpa disadari manusia telah masuk ke dunia serba
logis. Seperti teknologi yang lahir dari kelogisan manusia. Mitos yang saya
sebutkan diatas juga berusaha menghubungkan sesuatu menjadi ‘logis’. Namun benarkah
kelogisan bahwa angka 13 adalah angka kesialan adalah nyata?
Tanpa disadari pula, para Barat telah membuat dominasi
pikiran pula bahwa mitos tersebut dapat dipatahkan. Bukan persis seperti
triskaidekaphobia, saya akan memaparkan sebatas pengetahuan saya terkait kasus
yang tidak serupa namun masih sejalur. Kita bisa saja membongkar logika yang
dapat mematahkan triskaidekaphobia. Namun sejauh ini seperti kekuasaan masih
menjadi penentu yang dominan. Penyerangan atau ‘perlawanan’ terhadap
mitos-mitos seperti ini juga diperlihatkan oleh film IT. Siapa yang tidak tahu film ini? Film yang langsung laris bahkan
sebelum di rilis. Kehadirannya dapat dirasakan ditiap bioskop yang sekarang
selalu menjadi tempat kesayangan.
Dalam film yang diadaptasi dari novel Stephen King tersebut
telah menjadi Box Office di Indonesia. Hal yang sangat mencirikian dominasi
perspektif bahwa karya Barat lebih tinggi stratanya dibanding yang lokal. Namun
yang saya lirik bukanlah hal tersebut. Melaikan bagaimana cara anak-anak yang
‘melawan’ keganasan dari takhayul atau mitos atau halusinasi atau sisi
melankolis sehingga terbunuh oleh rasa tersebut yang ada di dalam dirinya
sendiri.
Diceritakan bahwa ada sejenis hantu yang disebut IT, ia menyerupai badut yang sangat
garang, menyeramkan dan meninggalkan konteks badut lucu. Badut ini selalu
menyasar pada anak-anak. Seperti yang kita ketahui, anak-anak adalah subjek
yang memiliki ketakutannya sendiri. Ada yang takut hantu tertentu, binatang
tertentu, gambar tertentu, dan mungkin takut terhadap angka tertentu (walau
saya belum pernah mendengar kasus seperti ini karena kemungkinan besar
ketakutan pada angka tertentu itu adalah ‘settingan’ sang penguasa dengan
segala tujuannya).
Hantu IT dapat
menyerupai segala macam bentuk ketakutan anak-anak tersebut. Ia menguasai dan
bahkan menyetir anak-anak untuk berbuat sesuatu karena memegang kendali penuh
atas ketakutan anak-anak tersebut. Jika dianalogikan dengan fenomena
trikaidekaphobia, maka akan ditemukan logika yang bisa dibilang aneh. Penguasa
disejajarkan dengan mahluk bernama IT, lalu
menggunakan ketakutan yang dalam hal ini dianalogikan sebagai ‘doktrin’ bahwa
angka 13 itu buruk. Lalu para anak yang dapat diibaratkan sebagai segala hal
yang terkena dampak dari doktrin tersebut, bisa berupa manusia, budaya, dan
teknologi. Dan yang paling terpenting adalah output. Dalam film diceritakan
mahluk yang menyerupai badut yang memiliki kelainan psikologi itu membunuh
anak-anak, dalam triskaidekaphobia, outputnya lebih luas, jangkauan sangat
tidak terbatas.
Namun ada fakta yang lebih mengejutkan. Di dalam film
diceritakan bahwa mahluk yang bernama IT itu
dapat dibunuh (mungkin hanya menghilang karena dia hanya datang pada saat
tertentu) dengan cara membunuh ketakutan. Mahluk itu berubah menjadi ketakutan
anak-anak, dan anak-anak harus membunuh ketakutan tersebut agar dapat terbebas
dari teror mahluk badut seram tersebut. Lalu bagaimana dengan trikaidekaphobia?
Di atas dipaparkan bahwa ketakutan dianalogikan sebagai ‘doktrin’. Apakah kita
harus membunuh doktrin tersebut? Angka tetaplah angka. Kepercayaan tetaplah
kepercayaan. Dan kekuasaan tetaplah memiliki tujuan.
Komentar
Posting Komentar