Pengaruh Budaya terhadap Mata Pencaharian Tokoh “Komako” pada Novel Daerah Salju Karya Yasunari Kawabata dengan Tokoh “Pariyem” pada Novel Pengakuan Pariyem Karya Linus Suryadi: Kajian Sastra Bandingan
Pengaruh Budaya terhadap Mata Pencaharian Tokoh “Komako” pada Novel Daerah Salju Karya Yasunari Kawabata dengan Tokoh “Pariyem” pada Novel Pengakuan Pariyem Karya Linus Suryadi: Kajian Sastra Bandingan
Kata kunci: budaya, mata pencaharian, daerah salju, pengakuan pariyem, sastra bandingan
PENDAHULUAN
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.
Ada beberapa unsur-unsur yang dapat mempengaruhi budaya. Mempelajari unsur-unsur yang terdapat dalam sebuah kebudayaan sangat penting untuk memahami kebudayaan manusia. Kluckhon dalam bukunya yang berjudul Universal Categories of Culture membagi kebudayaan yang ditemukan pada semua bangsa di dunia dari sistem kebudayaan yang sederhana seperti masyarakat pedesaan hingga sistem kebudayaan yang kompleks seperti masyarakat perkotaan. Kluckhon membagi sistem kebudayaan menjadi tujuh unsur kebudayaan universal atau disebut dengan kultural universal. 7 unsur kebudayaan yaitu:
Tokoh merupakan unsur yang penting di dalam karya sastra.¹ Apabila tidak ada tokoh, mustahil cerita itu akan dapat berjalan. Tokoh yang dihadirkan baik dari novel Daerah Salju maupun dari prosa Pengakuan Pariyem bukanlah tokoh yang sembarangan. Kedua tokoh tersebut berhasil mereperesentasikan kebudayaannya, salah satunya dapat dilihat dari aspek mata pencahariannya.
Tokoh Komako dan Pariyem memiliki mata pencaharian yang hampir bisa dikatakan mirip, yaitu: pelayan. Komako dengan latar budaya Jepangnya sedangkan Pariyem dengan latar belakang budaya Jawanya. Komako tinggal di daerah salju, yaitu bagian utara Pulau Honshu di tepi Laut Jepang. Sedangkan Pariyem tinggal di Wonosari, sebuah desa di perbatasan timur Yogyakarta.
Dalam kajiannya, penelitian ini menggunakan pendekatan kajian sastra bandingan. Menurut Remak dalam buku Endraswara yang berjudul Metodologi Penelitian Sastra Bandingan menyatakan bahwa sastra bandingan merupakan penelitian sastra di luar batas sebuah negara serta penelitian tentang hubungan di sastra dengan bidang ilmu dan kepercayaan yang lain, seperti seni (lukis, ukir, dan musik), filsafat, sejarah, sosial (politik, ekonomi, dan sosiologi), sains, dan agama.² Ringkasnya, sastra bandingan merupakan kegiatan membandingkan sastra sebuah negara dengan sastra negara lain atau membandingkan sastra dengan bidang lain sebagai keseluruhan ungkapan kehidupan. Pengertian membandingkan adalah menyejajarkan, menemukan, mencari, dan mengidentifikasi kesamaan dan varian.
Jepang dan Indonesia khususnya pulau Jawa, tentu saja memiliki budaya yang berbeda. Dengan artian budaya dapat membatasi gerak suatu gender. Dalam kasus ini gender yang dibahas ialah perempuan. Dalam kedua novel ini ditemukan suatu kesamaan, di mana kedua tokoh perempuan dihadirkan sebagai pelayan. Di Jawa, khususnya di keraton perempuan yang bukan keturunan dari raja hanya dianggap sebagai abdi dalem atau pegawai keraton. Sedangkan di novel Daerah Salju, Komako dihadirkan sebagai pelayan wisatawan atau disebut sebagai geisha.
METODE
Penelitian ini memfokuskan terhadap cara bagaimana budaya dapat mempengaruhi suatu sistem mata pencaharian. Gambaran tentang perempuan yang menjadi pelayan, posisi perempuan di dalam kesusastraan dan seperti apa perempuan dinarasikan.
Penelitian ini memfokuskan pada dua tulisan pengarang yang ditulis dengan latar belakang budaya yang berbeda. Karya yang dipilih ialah novel Daerah Salju karya Yasunari Kawabata dengan novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi. Kedua novel ini dipilih karena terdapat kesamaan mata pencaharian dari dua tokoh perempuan yang terdapat pada masing-masing novel tersebut.
Pembahasan
Pengaruh Budaya terhadap Mata Pencaharian Komako dan Pariyem
Dalam novel Yasunari Kawabata yang berjudul Daerah Salju, tokoh Komako dihadirkan sebagai seorang geisha yang menjadi pelayan seorang wisatawan. Wisatawan itu bernama Shimamura. Namun, di dalam novel ini Kawabata tidak menggambarkan geisha sebagai pekerjaan yang dinilai memiliki tingkat yang rendah melainkan sebagai pekerjaan yang amat mulia.
Di Jepang, menjadi seorang geisha adalah hal yang lumrah. Para pelancong laki-laki biasanya yang paling sering menyewa jasa geisha untuk menemani dan melayani kebutuhan mereka selama berlibur di suatu tempat.
Narasi-narasi yang dimunculkan oleh Kawabata ialah ia hendak bermaksud mendekonstruksikan peran geisha. Menurutnya, menjadi seorang geisha ialah pekerjaan yang sulit karena ia harus bisa memainkan alat musik shamisen. Di dalam geisha sendiri terdapat tingkatan-tingkatannya. Jika seorang geisha itu menggunakan pakaian kimono yang terbuat dari sutra yang mewah maka ia dipandang sebagai geisha yang berkelas.
Mulanya, Komako menjadi geisha karena ia terpaksa. Ia harus menghidupi temannya yang sedang sakit, karena itulah ia terjun menjadi seorang geisha. Kebanyakan orang mengira geisha adalah pelacur. Faktanya, geisha sejati jarang terlibat hubungan seksual dengan pelanggannya. Peran utama geisha adalah pelayan yang bertujuan untuk menghibur tamu-tamu dengan menari, menyanyi, dan sebagainya di tempat perjamuan.
Sedangkan dalam novel Pengakuan Pariyem, Linus menggambarkan seorang Pariyem sebagai babu atau abdi dalem yang memiliki sifat nerimo. Sifat nerimo inilah yang menjadi pegangan bagi Pariyem selama menjadi abdi dalem di keraton. Ia digambarkan sebagai perempuan yang lugu, dan pasrah.
Ketika di keraton, ia menjalani hubungan gelap dengan Raden Ario Atmojo sampai ia sendiri hamil. Raden Ario Atmojo tidak tahan akan tubuh indah Pariyem. Kehamilan Pariyem diketahui oleh adik Raden Ario Atmojo yang bernama Wiwit Setiowati. Kemudian mereka disidang. Iyem sendiri takut akan kehilangan pekerjaannya. Hasil sidang itu ialah janin yang dikandungnya diakui sebagai keturunan Cokro Sentono namun dengan syarat selama Pariyem hamil sampai melahirkan ia harus pulang ke desanya di Wonosari, jikalau nanti sudah melahirkan dan anaknya sudah berumur satu tahun, maka ia harus kembali ke keraton untuk mengabdi.
Dalam kedua novel ini, yang menjadi objek kesenangan laki-laki ialah kaum perempuan. Dalam novel Daerah Salju tidak ditemukan objek seksualitas. Yang ada hanyalah penggambaran kisah cinta antara seorang geisha yang bernama Komako dengan seorang pelancong bernama Shimamura. Sedangkan dalam novel Pengakuan Pariyem objek seksualitas digambarkan melalui penggambaran gerakan tokoh atau showing dan juga telling yang dinarasikan oleh Pariyem.
Kedua tokoh ini memiliki mata pencaharian yang hampir sama, yaitu: pelayan. Pelayan di Jepang dikenal sebagai geisha sedangkan di Jawa dikenal sebagai abdi dalem atau bahasa kasarnya babu. Perbedaannya terdapat di karakter tokoh masing-masing. Perbedaan ini dilatarbelakangi tentunya oleh budaya yang berbeda. Suhu di Jepang yang dingin tentunya membuat pekerjaan geisha menjadi laku keras khususnya ketika memasuki musim salju seperti yang tergambar pada novel Daerah Salju di mana turis akan banyak berdatangan di musim salju itu. Jikalau di novel atau prosa Pengakuan Pariyem, menjadi abdi dalem juga merupakan pekerjaan yang mulia. Meskipun sebenarnya termasuk ke dalam kelas golongan ke bawah, namun Pariyem sabar dan tetap menikmati pekerjaannya. Kehadiran abdi dalem di keraton amatlah penting, sama seperti halnya geisha di Jepang.
Meski begitu, terdapat relevansi mata pencaharian antara kedua tokoh perempuan tersebut. Namun yang menjadi pembeda adalah perbedaan kultural yang mendasari ide cerita dari masing-masing penulis. Linus berasal dari Indonesia sedangkan Kawabata berasal dari negeri sakura.
Daftar Pustaka
Endraswara, Suwardi. 2011. Metode Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Bukupop.
Kawabata, Yasunari. 2016. Daerah Salju. Jakarta: KPG.
Suryadi, Linus. 2015. Pengakuan Pariyem. Jakarta: KPG.
Damono, Sapardi Djoko. 2015. Sastra Bandingan. Ciputat: Editum.
Adi Apria Akbar Setiabudi
FBS Universitas Negeri Jakarta
Surel: bardikomes@gmail.com
ABSTRAK
Kajian ilmu sastra memang tak bisa lepas dari budaya. Budaya dari seluruh negeri ini sangat banyak ragamnya. Dalam suatu daerah tertentu, budaya dapat menjadi faktor dalam menentukan mata pencaharian dari suatu kaum tersebut. Penelitian ini mencoba menjelaskan pengaruh budaya terhadap mata pencaharian tokoh “Komako” pada novel Daerah Salju karya Yasunari Kawabata dengan tokoh “Pariyem” pada prosa Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kajian sastra bandingan. Kedua novel ini memiliki latar tempat yang berbeda, juga dengan budaya yang berbeda pula. Novel Daerah Salju memiliki latar tempat di Jepang, sedangkan prosa Pengakuan Pariyem memiliki latar tempat di Jawa khususnya di keraton Yogyakarta. Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana pengaruh budaya terhadap mata pencaharian kedua tokoh? Seperti apa mata pencaharian dari kedua tokoh perempuan tersebut? Dengan semakin sering munculnya tokoh perempuan di dalam dunia kesusastraan, diharapkan tokoh tersebut akan menjadi pembelajaran untuk generasi seterusnya.Kata kunci: budaya, mata pencaharian, daerah salju, pengakuan pariyem, sastra bandingan
PENDAHULUAN
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.
Ada beberapa unsur-unsur yang dapat mempengaruhi budaya. Mempelajari unsur-unsur yang terdapat dalam sebuah kebudayaan sangat penting untuk memahami kebudayaan manusia. Kluckhon dalam bukunya yang berjudul Universal Categories of Culture membagi kebudayaan yang ditemukan pada semua bangsa di dunia dari sistem kebudayaan yang sederhana seperti masyarakat pedesaan hingga sistem kebudayaan yang kompleks seperti masyarakat perkotaan. Kluckhon membagi sistem kebudayaan menjadi tujuh unsur kebudayaan universal atau disebut dengan kultural universal. 7 unsur kebudayaan yaitu:
- Sistem Pencaharian Hidup
- Sistem Peralatan dan Teknologi
- Sistem Organisasi Kemasyarakatan
- Sistem Pengetahuan
- Bahasa
- Kesenian
- Sistem Religi dan Upacara Keagamaan
Tokoh merupakan unsur yang penting di dalam karya sastra.¹ Apabila tidak ada tokoh, mustahil cerita itu akan dapat berjalan. Tokoh yang dihadirkan baik dari novel Daerah Salju maupun dari prosa Pengakuan Pariyem bukanlah tokoh yang sembarangan. Kedua tokoh tersebut berhasil mereperesentasikan kebudayaannya, salah satunya dapat dilihat dari aspek mata pencahariannya.
Tokoh Komako dan Pariyem memiliki mata pencaharian yang hampir bisa dikatakan mirip, yaitu: pelayan. Komako dengan latar budaya Jepangnya sedangkan Pariyem dengan latar belakang budaya Jawanya. Komako tinggal di daerah salju, yaitu bagian utara Pulau Honshu di tepi Laut Jepang. Sedangkan Pariyem tinggal di Wonosari, sebuah desa di perbatasan timur Yogyakarta.
Dalam kajiannya, penelitian ini menggunakan pendekatan kajian sastra bandingan. Menurut Remak dalam buku Endraswara yang berjudul Metodologi Penelitian Sastra Bandingan menyatakan bahwa sastra bandingan merupakan penelitian sastra di luar batas sebuah negara serta penelitian tentang hubungan di sastra dengan bidang ilmu dan kepercayaan yang lain, seperti seni (lukis, ukir, dan musik), filsafat, sejarah, sosial (politik, ekonomi, dan sosiologi), sains, dan agama.² Ringkasnya, sastra bandingan merupakan kegiatan membandingkan sastra sebuah negara dengan sastra negara lain atau membandingkan sastra dengan bidang lain sebagai keseluruhan ungkapan kehidupan. Pengertian membandingkan adalah menyejajarkan, menemukan, mencari, dan mengidentifikasi kesamaan dan varian.
Jepang dan Indonesia khususnya pulau Jawa, tentu saja memiliki budaya yang berbeda. Dengan artian budaya dapat membatasi gerak suatu gender. Dalam kasus ini gender yang dibahas ialah perempuan. Dalam kedua novel ini ditemukan suatu kesamaan, di mana kedua tokoh perempuan dihadirkan sebagai pelayan. Di Jawa, khususnya di keraton perempuan yang bukan keturunan dari raja hanya dianggap sebagai abdi dalem atau pegawai keraton. Sedangkan di novel Daerah Salju, Komako dihadirkan sebagai pelayan wisatawan atau disebut sebagai geisha.
METODE
Penelitian ini memfokuskan terhadap cara bagaimana budaya dapat mempengaruhi suatu sistem mata pencaharian. Gambaran tentang perempuan yang menjadi pelayan, posisi perempuan di dalam kesusastraan dan seperti apa perempuan dinarasikan.
Penelitian ini memfokuskan pada dua tulisan pengarang yang ditulis dengan latar belakang budaya yang berbeda. Karya yang dipilih ialah novel Daerah Salju karya Yasunari Kawabata dengan novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi. Kedua novel ini dipilih karena terdapat kesamaan mata pencaharian dari dua tokoh perempuan yang terdapat pada masing-masing novel tersebut.
- Menurut Sudjiman, lihat Melani Budianta dkk. Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra Untuk Perguruan Tinggi), (Magelang: Indonesia Tera, 2003), hal. 86
- Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra Bandingan (Jakarta: Bukupop), hal. 9-10
Pembahasan
Pengaruh Budaya terhadap Mata Pencaharian Komako dan Pariyem
Dalam novel Yasunari Kawabata yang berjudul Daerah Salju, tokoh Komako dihadirkan sebagai seorang geisha yang menjadi pelayan seorang wisatawan. Wisatawan itu bernama Shimamura. Namun, di dalam novel ini Kawabata tidak menggambarkan geisha sebagai pekerjaan yang dinilai memiliki tingkat yang rendah melainkan sebagai pekerjaan yang amat mulia.
Di Jepang, menjadi seorang geisha adalah hal yang lumrah. Para pelancong laki-laki biasanya yang paling sering menyewa jasa geisha untuk menemani dan melayani kebutuhan mereka selama berlibur di suatu tempat.
Narasi-narasi yang dimunculkan oleh Kawabata ialah ia hendak bermaksud mendekonstruksikan peran geisha. Menurutnya, menjadi seorang geisha ialah pekerjaan yang sulit karena ia harus bisa memainkan alat musik shamisen. Di dalam geisha sendiri terdapat tingkatan-tingkatannya. Jika seorang geisha itu menggunakan pakaian kimono yang terbuat dari sutra yang mewah maka ia dipandang sebagai geisha yang berkelas.
Mulanya, Komako menjadi geisha karena ia terpaksa. Ia harus menghidupi temannya yang sedang sakit, karena itulah ia terjun menjadi seorang geisha. Kebanyakan orang mengira geisha adalah pelacur. Faktanya, geisha sejati jarang terlibat hubungan seksual dengan pelanggannya. Peran utama geisha adalah pelayan yang bertujuan untuk menghibur tamu-tamu dengan menari, menyanyi, dan sebagainya di tempat perjamuan.
Sedangkan dalam novel Pengakuan Pariyem, Linus menggambarkan seorang Pariyem sebagai babu atau abdi dalem yang memiliki sifat nerimo. Sifat nerimo inilah yang menjadi pegangan bagi Pariyem selama menjadi abdi dalem di keraton. Ia digambarkan sebagai perempuan yang lugu, dan pasrah.
Ketika di keraton, ia menjalani hubungan gelap dengan Raden Ario Atmojo sampai ia sendiri hamil. Raden Ario Atmojo tidak tahan akan tubuh indah Pariyem. Kehamilan Pariyem diketahui oleh adik Raden Ario Atmojo yang bernama Wiwit Setiowati. Kemudian mereka disidang. Iyem sendiri takut akan kehilangan pekerjaannya. Hasil sidang itu ialah janin yang dikandungnya diakui sebagai keturunan Cokro Sentono namun dengan syarat selama Pariyem hamil sampai melahirkan ia harus pulang ke desanya di Wonosari, jikalau nanti sudah melahirkan dan anaknya sudah berumur satu tahun, maka ia harus kembali ke keraton untuk mengabdi.
Dalam kedua novel ini, yang menjadi objek kesenangan laki-laki ialah kaum perempuan. Dalam novel Daerah Salju tidak ditemukan objek seksualitas. Yang ada hanyalah penggambaran kisah cinta antara seorang geisha yang bernama Komako dengan seorang pelancong bernama Shimamura. Sedangkan dalam novel Pengakuan Pariyem objek seksualitas digambarkan melalui penggambaran gerakan tokoh atau showing dan juga telling yang dinarasikan oleh Pariyem.
Kedua tokoh ini memiliki mata pencaharian yang hampir sama, yaitu: pelayan. Pelayan di Jepang dikenal sebagai geisha sedangkan di Jawa dikenal sebagai abdi dalem atau bahasa kasarnya babu. Perbedaannya terdapat di karakter tokoh masing-masing. Perbedaan ini dilatarbelakangi tentunya oleh budaya yang berbeda. Suhu di Jepang yang dingin tentunya membuat pekerjaan geisha menjadi laku keras khususnya ketika memasuki musim salju seperti yang tergambar pada novel Daerah Salju di mana turis akan banyak berdatangan di musim salju itu. Jikalau di novel atau prosa Pengakuan Pariyem, menjadi abdi dalem juga merupakan pekerjaan yang mulia. Meskipun sebenarnya termasuk ke dalam kelas golongan ke bawah, namun Pariyem sabar dan tetap menikmati pekerjaannya. Kehadiran abdi dalem di keraton amatlah penting, sama seperti halnya geisha di Jepang.
Meski begitu, terdapat relevansi mata pencaharian antara kedua tokoh perempuan tersebut. Namun yang menjadi pembeda adalah perbedaan kultural yang mendasari ide cerita dari masing-masing penulis. Linus berasal dari Indonesia sedangkan Kawabata berasal dari negeri sakura.
Daftar Pustaka
Endraswara, Suwardi. 2011. Metode Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Bukupop.
Kawabata, Yasunari. 2016. Daerah Salju. Jakarta: KPG.
Suryadi, Linus. 2015. Pengakuan Pariyem. Jakarta: KPG.
Damono, Sapardi Djoko. 2015. Sastra Bandingan. Ciputat: Editum.
Komentar
Posting Komentar