Rumah Kertas: Makna dan lebih gila dari fanatik
Nama:
Destriyadi/2125152872
Kelas : 3
SIS
M.K. :
Sastra Dunia dan Kajian Budaya.
Seberapa besar
cinta seseorang terhadap buku? Ya sebuah buku yang berbagai macam ukuran,
berbagai macam jumlah halaman dari yang tipis sampai paling tebal dapat dibuat,
berbagai macam isi (genre) sesuai dengan keinginan dan sesuai dengan kebutuhan.
Semua buku pada umumnya sama, membuat tulisan jadi lebih resmi dalam bentuk
yang konvensional. Berbagai sisi dapat membuat orang tertarik dengan apa yang
ditulis oleh pengarangnya. Mulai dari cerita yang ciamik, bernafsu, sampai
mengubah diri. Permainan bahasa yang mampu mengubah daya pikir pembaca
sekaligus menghipnotis terhadap perilakunya. pada nantinya pembaca akan senang
dengan satu genre saja dan walaupun dengan tema yang beragam.
Kegilaan mencintai buku sebenarnya
memberikan dua makna yang berlawanan. Kata-kata memang tak ada habisnya mengisi
setiap lembaran buku dengan cerita yang menarik dan memberikan efek
berkelanjutan untuk pembaca. Seperti seseorang yang jika sudah kecanduan dengan
jam atau sepatu, maka dengan mudahnya ia akan membeli tanpa harga menjadi
perhatian yang penting. begitu pula terhadap buku, seseorang jika sudah
menjadikan buku sebagai keluarga terdekat setelah keluarga sungguhannya, akan
melakukan apa pun demi tetap bersama buku, layaknya hidup menjadi sangat erat
dengan isi-isi buku.
Seperti dalam novelet Rumah Kertas memiliki cerita yang lebih
gila terhadap kecintaan dengan buku. Rumah kertas adalah sebuah novelet yang
tipis—namanya juga novelet dengan ukuran panjang buku setengah jengkal orang
dewasa dan hanya 76 halaman.
Hal ini sebenarnya memberikan makna
yang positif dan negatif. Sebelum masuk ke perbedaan interpretasi maksud dalam
cerita pendek tersebut, saya mulau dengan menjelaskan isi buku.Perbandingannya adalah
apakah mau kegilaan ini kita miliki?
Novel ini
mengingatkan saya dengan kalimat “Belanja
Sampai Mati”. Tokoh yang gila dengan buku itu sebenarnya sudah benar-benar
bukan permasalahannya tentang bagaimana belanja sampai mati, namun bagaimana
bersama buku sampai mati?. Kemampuan seseorang belanja tergantung dalam
beberapa hal, salah satunya yaitu biaya yang dikeluarkan. Tapi saya tak elak
lagi, jika belanja sampai mati tidak akan mudah berhenti karena produsen selalu
memberikan anasir-anasir yang semakin segar. Begitu juga buku saya pikir mampu
membuat pembaca menjadi seseorang yang terus-menerus membuka halaman baru. Padahal
bisa jadi memberli buku sebagai formalitas atau yang lebih aneh membeli buku
hingga beberapa tahun buku itu masih bersegel kantong plastik putih.
Sejatinya
kisah novel ini sangat sederhana yaitu pencarian sang tokoh terhadap asal-usul
buku aneh yang diterima oleh koleganya yang telah meniggal, namun dari
pencariannya inilah yang akan mengantar kita memasuki dunia para bibliofil
dengan ragam keunikannya yang bisa dikatakan bukan lagi unik melainkan gila.
Dunia para penggila buku.
Melalui
novel ini kita diajak melihat bagaimana Carlos Brauer dan Delgado begitu
menggilai buku hingga seluruh rumahnya dipenuhi buku. Brauer memiliki 20 ribu
buku yg tersimpan dalam rak-rak buku besar dari lantai sampai ke plafon. Selain
dalam lemari buku-bukunya juga bertumpukan di dapur, kamar mandi, kamar tidur,
di anak tangga menuju loteng, hingga kamar mandinya
Dan yang
lebih gila lagi adalah secara sukarela Brauer memberikan mobilnya ke
temannya agar bisa mengisi garasinya dengan buku!
Brauer juga
memiliki cara yang unik untuk menata bukunya. Ia menyusun buku-bukunya
sedemikian rupa di atas ranjangya hingga menyerupai kontur tubuh manusia.
Selain itu Baurer juga memperlakukan buku-bukunya seperti layaknya manusia yang
memiliki perasaan atau emosi yaitu menempatkan buku-bukunya berdasarkan sistem
kekerabatan atau bagaimana penulis buku memiliki relasi dengan penulis lainnya.
Cara membaca
Brauer tidak kalah eksentriknya, ia memiliki kebiasaan membaca penulis-penulis
Perancis abad kesembilan belas diterangi cahaya lilin
Kebiaaan
membaca dengan cahaya lilin ini pada akhirnya membawa bencana, karena terlalu
banyak minum anggur, Brauer lupa meninggalkan kandil lilin di atas lemari
indeksnya, lilinnya jatuh dan membakar habis lemari indeks buku beserta isinya.
Peristiwa itu membuat Brauer terpukul. Kehilangan indeksnya dalam kebakaran
telah memupus semua ilusi untuk bisa menata perpustakaannya. Karena itu Brauer
menjual rumahnya dan pergi ke Rocha La Paloma, Uruguay bersama
buku-bukunya. Di sana dan membangun sebuah rumah di daerah terpencil di
tepi laut.
Di tempatnya
yang baru Brauer memiliki obsesi yang aneh, agar puluhan ribu buku-bukunya
dapat melindungi dirinya dari angin, hujan, dan keteduhan di musim panas
ia menyuruh para kuli yang membangun rumahnya menggunakan buku-bukunya sebagai
ganti batu bata!.
Dari hal
inilah akhirnya tokoh Aku bisa mengerti mengapa buku yang dikirim Brauer
pada Prof Bluma memiliki noda berupa kerak semen. Apakah Brauer kelak
membongkar rumah bukunya untuk mengambil dan mengembalikan sebuah buku yang
diberikan Blauma padanya? Jawabannya ada di bagian akhir dari novel ini.
Kita
tidak perlu meniru perilaku gila Brauer terhadap buku-bukunya namun dari novel
ini setidaknya kita akan melihat bagaimana buku yang adalah puncak peradaban
manusia modern begitu dihargai dan dicintai.
Kegilaan
Brauer yang mejadikan buku sebagai ganti batu bata untuk rumahnya tidak bisa
diterima dengan akal sehat namun bukan tak mungkin kita melakukan hal yang sama
dalam tingkat yang lebih sederhana, misalnya kita terus membeli buku dan merasa
nyaman tinggal dalam rumah atau kamar yang dikelilingi buku. Atau kita
hanya menjadikan buku sebagai pajangan agar kita terlihat cerdas di mata
tamu-tamu kita seperti yang terdapat dalam novel ini
"Seorang
profesor sastra klasik sengaja berlama-lama menyeduh kopi di dapur agar
tamunya bisa mengagumi buku-buku di raknya", dan baru kembali ke ruang
tamu setelah efek-efek tertentu mulai merasuki sang tamu"
Untungnya
dibalik kegilaan Brauer akan buku ternyata iapun seorang pembaca buku yang
tekun. Buku bukan sekedar dibeli dan disimpan, ia membaca dan membuat catatan
dari apa yang dibacanya. Bahkan Brauer tidak segan-segan membuat catatan
penting pada marjin buku-buku antik yang sedang dibacanya.
"Aku sanggamai tiap-tiap buku,
dan kalau belum ada bekasnya, berarti belum orgasme” (hlm.
32)
Bagi Brauer buku bukan sekedar untuk
disimpan atau sekedar pemuas hasrat pribadi namun buku juga harus dibaca dan
dimaknai dengan memberi tanda atau catatan-catatan penting di buku-buku yang ia
baca.
"Orang-orang ini (bibliofil)
ada dua golongan....pertama, kolektor, yang bertekad mengumpulkan edisi-edisi
langka.....edisi pertama buku-buku Borges sekalitus artikel-artikel di
majalah-majalah; buku-buku yang dicetak oleh Colombo, disunting oleh Bonet,
sekalipun mereka tak pernah membuka-bukanya selain untuk melihat-lihat
halamannya, seperti orang-orang mengagumi sebuah objek indah.
Lainnya, ada
para kutu buku, pelahap bacaan yang rakus, seperti Brauer itu, yang sepanjang
umurnya membangun koleksi perpustakaan yang penting. Pecinta buku tulen, yang
sanggup mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk buku yang akan menyita waktu
mereka berjam-jam, tanpa kebutuhan lain kecuali untuk mempelajari dan
memahaminya." (hlm 17)
Rumah kertas
menyampaikan bagaimana tokoh yang diceritakan itu hidup penuh dengan buku,
memburu buku hingga beradu harga dalam pelelangan buku bersejarah. Fanatisme terhadap
barang ini (buku) menjadi terlalu berlebihan. Memang secara jalan cerita
seperti mencari tokoh harta karun yang membuat tak tenang hati bila tak
ditemukan, tetapi kegilaan terhadap buku ini sudah melewati batas kegilaan
orang paling gila sedunia.
Fanatisme yang
saya maksud adalah seseorang yang sangat cinta dengan tim sepakbola daerahnya,
sampai-sampai memenuhi isi lemari dengan logo blabla football club, mengikuti kemana pun tim idolanya bertandang,
mencari tahu semua informasi yang berhubungan dengan tim sepakbolanya itu, dan
yang paling parah adalah membela timnya walaupun tim tersebut kalah. Kelakuan yang
sama juga, pikir hemat saya, seperti novelet Rumah Kertas.
Seseorang yang
sangat-sangat—agar memberikan efek yang gila—kecintaannya dengan buku. Fanatisme
dalam novelet ini juga memberikan dua makna yang berbeda.Perbedaan makna ini
didasari oleh hasil pembacaan dan interpretasi yang cukup—oleh saya tentunya. Makna
yang bisa didapatkan dalam Rumah Kertas:
1.
Mencintai buku adalah hal yang bijak dengan pemanfaatan
yang boleh menjadi raja kutu buku tetapi menjadi pepohonan yang berakar dan menyiksakan
diri sendiri dengan mencari waktu yang tepat untuk membaca. Jika terjadi pada
kita mencintai buku atas dasar kesukaan kolektif, membaca sebagian besar dari
menculik kegagalan dan dibunuh.
2.
Makna yang bisa kita buang adalah fanatisme yang
tinggi. Atau bisa saya katakan kaitannya dengan ‘kesadaran palsu’ setiap orang
yang selalu membeli buku namun tak memikirkan bagaimana kondisi uang. Memang jika
sudah menjadi dirinya, toko buku dan sejenisnya tak akan pernah absen dari
dalam pikiran si fanatik. Tokoh-tokoh yang gila dalam novelet Rumah Kertas menjadikan seperti sosok
yang benar nyata dalam hidup. Tapi pikir saya lagi, itu terlalu mengerikan.
Daftar Pustaka:
Komentar
Posting Komentar