Nilai Kesetiaan dan Pengorbanan yang di ajarkan oleh Samurai dalam novel 47 Ronnin karya John Allyn
Oleh: Muhamad Rudiansyah
Kisah 47 Ronin diawali oleh seorang Daimyo yang bernama Lord Asano Takumi No Kaminaganori menghadapi pimpinannya yaitu Lord Kira. Kira Kozuke Yoshinaka adalah seorang Koke (Pejabat tinggi bakufu) dan juga seorang Daimyo yang tergolong sebagai Daimyo Shimphan (Keluarga Tokugawa). Dalam pertemuan itu Lord Kira menghina Lord Asano, merasa tersinggung Lord Asano mengeluarkan samurainya dan menyerang Lord Kira. Serangan Lord Asano luput hanya melukai sedikit Lord Kira, Lord Asano pun dianggap melanggar kode etik Samurai yang melarang mencabut samurai di istana. Kejadian ini membuat Shogun marah karena sifat Asano yang sama sekali tidak menunjukkan sifat seorang Bushi. Ia dihukum untuk melakukan seppuku atau ritual bunuh diri dengan menggunakan pisau. Kematian Lord Asano menjadikan 47 pengikutnya kehilangan tuannya.
Kisah 47 Ronin diawali oleh seorang Daimyo yang bernama Lord Asano Takumi No Kaminaganori menghadapi pimpinannya yaitu Lord Kira. Kira Kozuke Yoshinaka adalah seorang Koke (Pejabat tinggi bakufu) dan juga seorang Daimyo yang tergolong sebagai Daimyo Shimphan (Keluarga Tokugawa). Dalam pertemuan itu Lord Kira menghina Lord Asano, merasa tersinggung Lord Asano mengeluarkan samurainya dan menyerang Lord Kira. Serangan Lord Asano luput hanya melukai sedikit Lord Kira, Lord Asano pun dianggap melanggar kode etik Samurai yang melarang mencabut samurai di istana. Kejadian ini membuat Shogun marah karena sifat Asano yang sama sekali tidak menunjukkan sifat seorang Bushi. Ia dihukum untuk melakukan seppuku atau ritual bunuh diri dengan menggunakan pisau. Kematian Lord Asano menjadikan 47 pengikutnya kehilangan tuannya.
Mereka pun dijuluki Ronin atau Samurai tak bertuan. Di bawah pimpinan
Oishi Kuranosuke, 47 Ronin mengatur strategi untuk membalas dendam kematian
tuan mereka. Dua tahun strategi itu disiapkan, penjagaan ketat di kediaman Lord
Kira menjadikan upaya balas dendam mereka tidaklah mudah. Di musim dingin pada
tahun 1702 serangan dilakukan. 47 Ronin menyerang kediaman Lord Kira di daerah
Regioku Tokyo. Mereka berhasil memenggal kepala Lord Kira dan membawanya ke
kuil Sengaku-Ji, tempat dimakamkannya tuan mereka Lord Asano. Kepala Lord Kira
dibersihkan dan dipersembahkan ke hadapan tuan mereka. Dendam telah terbayar,
selanjutnya 47 Ronin tersebut bersiap menyusul tuan mereka ke alam keabadian.
Para Ronin melakukansecara bersama-sama. Darah bersemburan membasahi kuil
Sengaku-Ji, Tanah pun merah oleh darah kesetiaan para Ronin. Mereka memberikan
nyawanya untuk menunjukkan kesetiannya pada sang tuan. Kisah 47 Ronin adalah
kisah tentang kesetiaan, pengorbanan, dan keadilan.
Balas dendam (adauchi)
sebagai wujud kesetiaan
Dalam Kisah 47 Ronin, para samurai melakukan balas dendam (adauchi)
untuk menunjukan rasa kesetiaan dan kehormatan yang begitu mendalam pada
majikannya. Hal ini dikarenakan nilai kesetiaan yang merupakan ajaran bushido
sudah mendarah daging dalam diri pada samurai. Dengan membalaskan dendam
majSikap dan perilaku ini dianggap para Samurai pada saat itu merupakan sesuatu
yang sangat mulia dan untuk mewujudkan kesetiaan tersebut, mereka melakukan
Adauchi yaitu pembalasan dendam untuk majikan. Seorang samurai harus mampu
membalaskan dendam majikannya, apabila dendam majikan telah terbalaskan, arwah
majikan mereka bersemayam lebih tenang dialam akhirat, dan para pengikutnya
juga mendapatkan ketenangan hidup dari perlindungan arwah majikan tersebut.
Pada umumnya, apabila kematian seorang majikan dikarenakan suatu perkelahian
atau pertempuran maka sebagai pengikutnya, Samurai harus terlebih dahulu melakukan Adauchi
lalu diakhiri dengan Junshi, pada saat itulah seorang samurai akan merasa
dirinya benar-benar sebagai samurai sejati karena telah melakukan seluruh pengabdiannya
sampai kepada kematian.
Bunuh diri (junshi) sebagai
wujud kesetiaan
Sebagai wujud kesetiaan, para samurai dalam Kisah 47 Ronin rela mati
demi majikannya. Para samurai melakukan junshi yang dapat diartikan sebagai
jalan kematian karena kesetiaan. Sikap ini merupakan salah satu jalan kematian
yang banyak dilakukan masyarakat Jepang untuk membuktikan kesetiaan pengabdian
atau kepatuhan mereka kepada majikan. Perilaku ini umumnya dilakukan oleh
golongan samurai sebagai bukti loyalitas pengabdian mereka. Para samurai
mengikuti jalan kematian majikannya ketika atasan mereka meninggal dalam
pertempuran ataupun tidak.
para Samurai dalam Kisah 47 Ronin menjunjung
nilai kesetiaan. Disaat kematian merupakan hal yang paling ditakutkan oleh manusia
menjadi tersasa ringan bagi para Samurai. Secara garis besar, sistem pendidikan
yang diutamakan pada zaman Edo adalah ajaran mengenai kesetiaan. Kesetiaan ini
banyak diajarkan umumnya pada kalangan Bushi atau Samurai. Kesetiaan atau
kepatuhan dari bawahan kepada atasan yang banyak diajarkan pada kaum prajurit
merupakan prinsip dasar pada ajaran agama Budha. Dalam pengajarannya sendiri,
pendidikan kesetiaan yang mengambil unsur dari agama Budha yang diajarkan pada
prajurit banyak menerapkan adanya Reinkarnasi yaitu suatu kepercayaan bahwa
kita akan hidup atau terlahir kembali lagi di dunia setelah meninggal nanti,
keyakinan ini sangat diterapkan pada prajurit untuk tidak takut kepada
kematian. Selain itu, dalam diri Samurai adalah pola pikir yang menghargai
kematian. Pola pikir seperti itu tetap dipertahankan dan dikembangkan oleh
samurai zaman Edo. Berkaitan dengan hal itu, Tsunieyomo dalam Kamiko (1976:49),
mengatakan bahwa jalan samurai ditemukan dalam kematian. Apabila seorang
samurai dihadapkan pada pilihan antara hidup dan mati, dengan segera mereka
memilih kematian. Walaupun para samurai Kamigata (daerah Kyoto dan sekitarnya)
berpendapat bahwa apabila mati tanpa tujuan adalah mati sia-sia. Pada dasarnya, dalam
diri setiap manusia saat dihadapkan pada dua pilihan yang sulit antara memilih
hidup atau mati untuk tercapainya suatu tujuan, kenyataannya kita ingin hidup. Namun
bagi samurai apabila memilih ingin hidup terus, tujuan yang diinginkan tidak
tercapai, samurai dapat dikatakan bertanggung jawab. Sebaliknya, apabila
memilih kematian ternyata tujuan tidak tercapai, kematiannya itu dikatakan
sia-sia. Oleh karena itu, ia tidak perlu malu karena ini merupakan jalan
seseorang menuju jalan samurai. Kesadaran akan kematian seperti itu, telah
dihayati oleh Samurai dalam kehidupan sehari-hari. Samurai seperti itu sesuai dengan
pendapat Tsunietomo dalam Kamiko (1976:49) bahwa samurai ideal adalah memilih kematian
dalam menghadapi segala hal. Kematian yang dilakukan oleh Samurai bukan
merupakan kematian yang sematamata mempunyai arti secara fisik yaitu
menghilangkan nyawa dengan jalan merobek perutnya hingga mati yang dikenal
dengan sebutan seppuku, melainkan kematian yang telah dilakukan itu memiliki
arti yang lebih dalam, yaitu arti kematian secara kejiwaan yang implikasinya
kepersiapan mental dan interaksi sosial. Pengertian kematian secara kejiwaan di
sini bukan ditinjau dari sudut agama yang berpedoman pada surga atau neraka,
baik atau buruk. Pengertian kematian disini dilihat dari sudut etika atau
moral. Bentuk nyata dari kematian secara kejiwaan ini adalah tidak mementingkan
diri-sendiri. Penghayatan ini mewarnai hubungan antar manusia atau interaksi
sosial seorang Samurai sebagai individu secara ideal. Kematian secara kejiwaan
ditandai oleh pengalihan perhatian dari diri sendiri ke suatu hal yang sifatnya
lebih luas, apakah wujudnya itu merupakan pemimpin, daerah, dan masyarakat,
seperti yang diungkapkan (Wilson, 1987:18) yaitu, seseorang merupakan pengikut
yang baik bilamana ia bersungguh-sungguh mementingkan tuannya. Pengikut yang demikian
merupakan pengikut terpenting. Apabila seseorang dilahirkan dari keluarga terkemuka
yang terkenal turun-temurun, orang tersebut sudah dianggap cukup apabila ia memikirkan
kewajiban terhadap leluhurnya, mengorbankan jiwa dan pikirannya, serta menghormati
tuannya dengan sepenuh hati.
Dalam Kisah 47 Ronin menggambarkan kesetiaan para samurai yang bersedia
mengorbankan nyawanya demi menjujung tinggi nama majiakannya. Kematian yang menurut
manusia pada umumnya merupakan hal yang paling ditakutkan, namun bagi samurai
hal tersebut bukanlah hal yang harus ditakutkan. Kesetiaan dalam Kisah 47 Ronin
digambarkan melalu balas dendam yang dilakukan oleh para samurai untuk membalas
kematian majikannya yang disebut Adauchi. Mereka tanpa pantang menyerah
mengatur startegi dan dalam keadaan sesulit apapun tetap berusaha dalam meraih
keberhasilan untuk membalaskan dendam atas kematian tuannya. Hal ini dimaksudkan
agar arwah majikannya dapat tenang dialam keabadian. Selain Adauchi, para samurai
juga melakukan Junshi. Junshi dilakukan para Samurai dengan cara Seppuku. Kesetiaan
seorang Samurai terhadap tuannya dapat diwujudkan dalam satu tindakan yang berbentuk
pengorbanan diri dengan cara seppuku. Seppuku yang mereka lakukan itu mempunyai
maksud untuk menyatakan kebesaran, dan keberanian kesetiaan, serta penghormatan
terhadap kematian tuannya. Mereka melakukan seppuku atas dasar kesetiaan yang
murni.
Komentar
Posting Komentar