Tokoh Lelaki Sebagai Anak Sulung dalam Novel Bukan Pasar Malam Karya Pramoedya Ananta Toer: Kajian Fungsionalisme
Oleh: Ichsan Dames Nugraha

Karya sastra lahir karena adanya keinginan dari pengarang untuk mengungkapkan eksistensinya sebagai manusia yang berisikan ide, gagasan, dan realitas sosial budaya pengarang serta menggunakan media bahasa sebagai penyampaiannya. Karya sastra juga merupakan fenomena sosial budaya yang melibatkan kreativitas manusia. Sebuah karya sastra dipersepsikan sebagai ungkapan realitas kehidupan dan konteks penyajiannya disusun secara terstruktur, menarik, serta menggunakan media bahasa berupa teks yang disusun melalui refleksi pengalaman dan pengetahuan secara potensial memiliki berbagai macam bentuk representasi kehidupan.
Novel merupakan salah satu ragam prosa di samping cerpen dan roman selain puisi dan drama, di dalamnya terdapat peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokohnya secara sistematis dan terstruktur. Pramoedya Ananta Toer dilahirkan di Blora, pada tahun 1925 sebagai anak sulng dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang guru, sedangkan ibunya adalah pedagang nasi. Sedikit persis dengan cerita dalam novelnya yang berjudul Bukan Pasar Malam ini. Kejeliannya dalam memaparkan dan menuangkan potret kehidupan masyarakat serta pandangan dunia yang ada di dalamnya ke dalam ide-idenya yang kemudian dituangkannya ke dalam teks-teks karya sastra, menyebabkan mampu menghasilkan karya-karya besar dan menjadikannya menjadi sastrawan besar, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga dunia.
Begitulah suasana di masa pascakemerdekaan di Indonesia pada umumnya. Para pejuan kemerdekaan yang berusaha mewujudkan impian untuk merdeka, saling memerhatikan satu sama lainnya dan saling mengerti terhadap kemampuan masing-masing. Mereka bersatu padu, menyeragamkan barisan, dan mencegah segala bentuk perpecahan. Namun, setelah kemerdekaan tercapai, para elite politik dan orang-orng yang merasa berkedudukan saling memperebutkan kekuasaan tanpa memerhatikan kondisi rakyat yang semakin terpuruk. Mereka menjadi pribadi yang individualistis tidak merasa peduli dengan kondisi orang lain yang membutuhkan uluran tangan.
Berpotong-potong kisah itu diungkapkan dengan sisa-sisa kekuatan jiwa yang terbang dalam jiwa seorang mantan tentara muda revolusi yang idealis. Lewat tuturan tokoh ‘Aku’ dalam novel tersebut, Aku tidak hanya mengkritik kekerdilan diri sendiri, tetapi juga menunjuk muka para jenderal atau pembesar negeri pascakemerekaan yang hanya asyik mengurus dan memperkaya dirinya masing-masing. Secara tersurat dituliskan bahwa tokoh Aku memang orang yang perasa, jelas tergambarkan bahwa tokoh Aku merupakan seorang yang mempunyai hati yang mudah tersayat. Sepertinya perasaan halus seperti itu adalah sesuatu yang diwariskan dari lingkungan keluarganya. Tokoh Aku mengatakan bahwa keluarganya adalah makhluk yang perasa, dan ia menyadari itu. Sikap perasa sebenarnya merupakan sesuatu yang wajar terjadi pada setiap manusia.
Jika dilihat dari perwatakannya, tokoh Aku merupakan tokoh bulat, kompleks, tokoh yang memiliki dan diungkapkan dengan berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, dan jati dirinya. Tokoh Aku yang merupakan seorang pejuang muda di zaman revolusi yang pada awalnya mempunyai perwatakan keras, namun pada akhirnya melunak ketika mendapati ayahnya yang seang sakit keras di kampungnya. Tokoh Aku merupakan pencerita dan juga merupakan bagian dari cerita karena ia ikut berperan. Dalam novel tersebut, tokoh Aku merupakan tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan secara terus-menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita.
Novel Bukan Pasar Malam ini mengisahkan tentang seseorang pemuda yang memiliki ayah seorang eks pejuang nasionalis yang memiliki penyakit TBC, yang menginginkan anak sulungnya yang berada di Jakarta untuk kembali ke Blora (ke kediaman ayah dan keluarganya). Roman ini memang berlatar belakang kondisi pasca Indonesia merdeka, bermandikan keringat peluh sisa perjuangan. Tokoh anak sulung dalam novel ini meninggalkan kampung halamannya --Blora--  dikarenakan pernah menjadi tahanan dari pemerintah kolonial Belanda pada saat itu dan terlibat dengan aksi perlawanan. Alasan lain anak lelaki ini memilih untuk tinggal di Jakarta adalah karena pernah mengalami konflik batin dengan sang ayah ketika dulu ia pernah diminta oleh ayahnya untuk pulang ke kampung halamannya. Ketika mendapatkan surat dari ayahnya, sang anak seperti halnya anak muda pada usianya malah membalas surat tersebut dengan goresan pena yang bernada murka, serta pedas jika dibaca. Begini surat yang dituliskan oleh ayahnya:
“Di dunia ini tak ada suatu kegirangan yang lebih besar daripada kegirangan seorang bapak yang mendapatkan anaknya kembali, anak yang tertua, pembawa kebesaran dan kemegahan bapaknya, anaknya yang beberapa waktu terasing dari masyarakat ramai, terasing dari cara hidup manusia biasa”
Namun rupanya balasan yang diterima oleh anak lelaki tersebut bukanlah dari ayahnya, melainkan dari pamannya. Dalam surat balasan tersebut sang paman mengatakan sesuatu yang sangat membikin perasaan dan kegelisahan yang mendera begitu hebatnya. Setelah menerima surat balasan tersebut, hal itu membuat kedua mata sang anak mengeluarkan air mata. Cairan yang mengisyaratkan jika ia merasa telah menjadi anak yang durhaka. Dalam suratnya, sang paman dengan singkat dan jelas meminta untuk sang anak segera kembali ke Blora karena keadaan sudah tidak memungkinkan. Surat yang ditulis oleh pamannya:
“Kalau bisa, pulanglah engkau ke Blora untuk dua atau empat hari. Ayahmu sakit. Tadinya malaria dan batuk. Kemudian ditambah dengan ambeien. Akhirnya ketauan beliau kena TBC. Ayahmu ada di rumah sakit sekarang, dan telah empat kali memuntahkan darah”
Jika kita terjebak dalam emosi yang dibangun penulis, kita akan masuk dalam penjara penghayatan kesedihan dan akan masuk ke dalam kehidupan dari cerita yang dibangun oleh Pram. Tidak luput juga dari setiap pembacaan kita, secara perlahan Pram berusaha menghisap pembaca untuk masuk dalam lingkup mesin waktu menuju kota Blora di awal kemerdekaan. Jika kita menghubungkan cerita yang ditulis oleh Pram ini dengan fungsionalisme atau kegunaan seorang anak sulung khususnya lelaki, kita akan memikirkan jika anak sulung lelaki mempunyai tanggung jawab yang lebih besar daripada anak sulung meski ia perempuan. Entah apa yang mendasari itu, namun sejak dahulu memang tradisi seperti itu sudah umum ditemukan dalam setiap keluarga. Anak sulung lelaki pasti akan diberikan tanggungjawab yang lebih dibanding dengan anak sulung perempuan.
Anak sulung seringkali disebut memiliki keunggulan dibandingkan dengan anak yang lahir berikutnya. Contohnya adalah kemampuan bahasa yang lebih baik karena anak sulung mengadopsi langsung cara berbicara orang tua yang merupakan efek dari interaksi langsung dengan orang tuanya. Anak sulung sering diharapkan untuk dapat sukses danmenjadi contoh bagi adiknya jugamembanggakan orang tuanya. Secara umum, orang tua memiliki harapan yang lebih tinggi kepada anak sulung yang sebelumnya juga telah diberikan tanggung jawab yang lebih. Jenis kelamin dari anak sulung tersebut juga menjadi hal yang penting karena menurut Kitchenham (2002), laki-laki dan perempuan bertindak dan berprestasi secara berbeda karena tergantung pada lingkungan sosial yang memiliki harapan pada mereka.
Atkinson (1957) menyatakan bahwa motivasi berprestasi merupakan pengaturan untuk meraih kesuksesan atau kapasitas untuk mengalami kesenangan dan kesuksesan. Ia juga menyatakan bahwa motivasi berprestasi terdiri dari dua faktor, yakni motivasi untuk meraih kesuksesan dan motivasi untuk menghindari kegagalan. Falbo (1981) mengungkapkan bahwa memangg terdapat sejumlah penelitian yang mengungkapkan bahwa anak sulung memiliki skor motivasi berprestasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang lahir berikutnya, tetapi ada juga yang tidak menemukan adanya pengaruh urutan kelahiran terhadap motivasi berprestasi sendiri.
Menurut Zhao (2008) orang Tionghoa Indonesia beranggapan, bahwa anak sulung mereka adalah sandaran mereka saat di masa tua nanti. Pekerjaan sang ayah akan diteruskan oleh anak sulung laki-laki, karena anak sulung laki merupakan tiang penopang keluarga dan dapat dikatakan ia adalah tangan kanan ayahnya. Salah satu contohnya saat orang tua tidak ada di rumah, anak sulung yang menangani urusan masalah dan menggantikan posisi orang tuanya. Boleh dikatakan lingkunganlah yang membuat ia dapat memiliki sifat berani, tegas, dan tersebut. Dalam tiap tempat belahan dunia pada umumnya, anak sulung laki dari istri utama raja yang berhak menduduki posisi kaisar atau raja, menggantikan posisi ayahnya. Anak sulung tersebut diperbolehkan untuk memimpin upacara sembahyang leluhur dan nenek moyang.
Dalam budaya keluarga besar Cina, saat membagi harta keluarga, anak sulung selalu mendapatkan bagian paling banyak. Sedangkan saudara laki-lakinya mendapatkan lebih sedikit. Hal ini tak jarang menimbulkan persaingan dalam saudara untuk memperebutkan harta tersebut. Pembagian harta keluarga inilah kepala keluarga yang berkuasa dan berperan penting atas hal pembagiannya. Namun, tetap saja anak sulung selalu diutamakan dalam meneruskan dan memiliki harta keluarga.
Kesanggupan manusia untuk melaksanakan tugasnya itu adalah sebuah tanggungjawab. Dan jika manusia itu tidak dapat untuk memenuhi kewajibannya, maka ia dianggap tidak bertanggungjawab. Makna tanggungjawab dalam cerita ini bisa tertangkap dengan jelas dalam setiap babnya. Dimulai dengan tanggungjawab seorang guru sekaligus ayah dari tokoh Aku dalam novel ini, yang selalu mengajar, dan membenahi kelakuan dari kesalahan menagajar orang tua murid, serta rela berkorban untuk mengayuhkan sepedanya berpuluh-puluh kilomete demi mengabdi pada negara, dan untuk mewujudkan tujuan negara yaitu mencerdaskan bangsa. Tanggungjawab seorang guru yang patut dicontoh, ketika dia mendapatkan sesuatu yang seharusnya bisa membuat dirinya kaya, tapi malah dibiarkan begitu saja. Ya, semua itu karena kewajibannya. Kewajiban seorang guru sekaligus ayah yang dipegang teguh sampai akhir hayatnya.
Pentingnya anak sulung dalam setiap keluarga sangat menjadi hal yang wajar ditemukan di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri jika orang tua akan lebih menharapkan dan berharap besar terhadap anak sulungnya. Entah apa yang melandasi pola pikir seperti itu, namun yang pasti ini masih bertahan dan mungkin akan berlanjut hingga nanti. Para orang tua memiliki keyakinan jika anak sulung yang merka harapkan dapat menempuh hidupnya dengan sukses, makan kesuksesan itu akan berlanjut kepada anaknya yang selanjutnya. Meski pun, kesuksesan tiap individu tergantung kepada kemampuannya sendiri. Terkecuali bagi mereka yang masih menggunakan sistem keturunan di kerajaan.
Para orang tua juga meyakini jika anak sulung dapat memberikan sesuatu yang besar bagi mereka. Terlebih anak laki-laki. Banyak sekali orang tua ketika istrinya hamil anak pertama, mereka berharap agar dapat diberikan anak laki-laki. Alasan yang mudah ditemui adalah mereka berharap agar anak laki-laki ini dapat menuntun adik-adiknya dan juga dapat mengurusi orang tuanya ketika sudah tua nanti. Atau juga banyak ditemukan orang tua yang memberikan alasan berharap anak pertama laki-laki agar bisa menjaga keluarganya kelak. Biasanya mereka menyebutnya dengan ‘jagoan’.
Biasanya, orang tua zaman dahulu masih mempercayai jika mempunyai anak sulung seorang laki-laki maka keluaga mereka akan sejahtera. Hal ini mungkin dikarenakan orang tua zaman dahulu ingin supaya anak sulung laki-lakinya cepat mendapatkan pekerjaan atau dapat membantu pekerjaan orang tua. Dibandingkan dengan anak sulung perempuan, anak sulung laki-laki lebih memiliki arti yang berarti bagi orang tua. Layaknya perempuan, anak sulung perempuan juga akan sama saja dalam hal pekerjaan. Mereka hanya akan mengerjakan pekerjaan yang ringan-ringan saja dan itu tidak terlalu membantu jika dibandingkan dengan anak sulung laki-laki.
Orang tua zaman dahulu juga memepercayai jika pekerjaan utama seorang perempuan adalah hanya berkutat di sekitar dapur, sumur, dan kasur. Di mana jika lebih diperjelas, pekerjaan seorang perempuan hanya untuk melayani dan mengurusi kebutuhan keluarganya saja. Berbeda dengan anak laki-laki yang dapat mencari pekerjaan hingga ke luar kota dan kepribadiannya yang tahan banting jika diketemukan dengan keadaan yang sulit. Maka dari itu, tidak jarang pula anak sulung laki-laki sering dijadikan sebagai tulang punggung keluarga ketika orang tua mereka sudah tidak bekerja atau bahkan sudah meninggal.
Dan jika melihat tokoh Aku dalam novel ini, tokoh Aku memperlihatkan tanggungjawab yang ia punya sebagai anak sulung. Meski di awal cerita ia sempat memiliki kekesalan atau kebencian terhadap ayahnya, namun ketika dihadapkan dengan keadaan orang tuanya yang kritis, tokoh Aku menjadi pribadi yang cair dan berubah secara utuh. Sebagai anak sulung, tokoh Aku sangat merasa miris melihat ayahnya yang dahulu berdiri kokoh sebagai seorang pemimpin perang gerilya yang cerdik, seorang guru yang hebat, seorang politikus pro rakyat yang ulung dan kini menjadi sosok yang tak berdaya karena TBC yang menggerogotinya. Saat seperti itulah keakraban antara ayah dan anak sulungnya yang telah lama berpisah mulai kembali terjalin. Begitu pula keakraban tokoh Aku dengan adik-adiknya juga kembali direkatkan oleh suasana dan keadaan yang seperti itu.

Tokoh Aku yang merupakan anak sulung dalam cerita tersebut juga pada akhirnya memiliki kewajiban dan tanggungjawab yang besar untuk menemani ayahnya yang tergolek lemah tak berdaya. Namun akhirnya, kejadian yang tidak diharapkan harus terjadi. Sang ayah meninggal setelah dibawa pulang dari rumah sakit oleh anak-anaknya. Selepas kepergian sang ayah, tokoh Aku barulah merasa sadar dengan semua kejadian ini. Tokoh Aku mendapat pembelajaran bahwa kehidupan di dunia ini bukanlah seperti pasar malam, berduyun-duyun datang dan berduyun-duyun pula kembali ke tempat masing-masing. Melainkan mereka menanti kepergiannya dengan segala hal yang masih mereka lakukan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEMIOTIKA MAKNA PADA LIRIK LAGU MANUSIA KUAT – TULUS

Ikon, Indeks, dan Simbol Dalam Lambang Centang: Kajian Semiotika

DESKRIPSI WARNA PADA IKON LAYANAN ON-DEMAND GO-RIDE, GO-CAR, GO-FOOD PADA APLIKASI GO-JEK